Thursday, May 24, 2007

Friendship Trip Ke Rumah Dunia


Oleh Ita Siregar

Inilah petikan kami berangkat ke Rumah Dunia (seterusnya disingkat RD), desa Hegar Alam, Ciloang, Serang-Banten.

Waktu itu sinar matahari lumayan terik dan tidak ada angin. Farianto memarkir mobil di tanah luas di depan RD, yang dulu ketika saya berkunjung dua tahun lalu dipakai tempat parkir. Kini sudah berdiri satu kerangka rumah sedang dibangun. Pintu gerbang kupu-kupu yang terbuat dari kayu, dengan tulisan Rumah Dunia di atasnya, sudah terbuka begitu saja. Kang Igun, salah satu relawan RD yang pintar mendongeng, segera menyambut kami sambil menyapa bersemangat, “Dari Depok ya?” Wah, salah, Kang. Dari Jakarta ini mah.

Kang Roni, relawan lain, dengan congcorang hijaunya, menemani sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Katanya, RD lebih ramai dikunjungi orang luar di hari Sabtu dan Minggu, seperti juga jadwal workshop. Sedangkan di hari biasa, anak-anak, remaja atau orang dewasa kapan saja bisa membaca di perpustakaan.

Menurut jadwal Gola akan mementori workshop menulis (jurnalistik) yang sekarang adalah peserta angkatan ke-9 sejak dimulainya. Sambil menunggu, Rebecca dan Hilda sibuk berfoto di gerbang RD, kami juga sih. Konon, Hilda telah lama bermimpi membuat tempat serupa RD. Rebecca menambahkan, sejak kecil, kakak beradik yang kompak ini, bila diberi uang jajan oleh orang tua, mereka pakai membeli buku-buku dan menyusunnya seperti taman bacaan di teras rumah, mengundang teman-teman tetangga untuk datang dan membaca. Dan membayar sewa baca, kan (betul? Hehe..)

Tias Tatanta sibuk memeriksa karya tulis salah seorang dari beberapa anak yang mengikuti latihan menulis di RD. Peserta kursus mulai berdatangan memenuhi kursi plastik warna-warni di depan panggung yang beratap langit. Kang Roni memutar film pendek Indie. Balita Odi dan Kaka, putra ketiga dan keempat Gola-Tias, ikut meramaikan.

Bela, putri sulung Gola yang telah menerbitkan satu novel anak Beautiful Days, tidak terlalu mempedulikan orang-orang yang bertanya soal karyanya. Menurut Tias, Bela agak kesal kalau sedang membaca di perpustakaan dan pengunjung ingin dapat tandatangan di novelnya.

Gola muncul, menyalami kami, bertanya penulis buku Awaking The Excellent Habit, yang diberikan untuk koleksi RD. Bung Darsum. Walhasil, setelah mengingatkan soal cara membuat satu tulisan (jurnalistik), Gola mempersilakan Bung Darsum berbagi perihal proses kreatif terbitnya bukunya, tentang akal penalar dan budi pekerti yang digabungkan menjadi sinergi sehingga manusia dapat mencapai peradaban saat ini. Seorang peserta bertanya teknik dan kesulitan mengumpulkan bahan, sementara Pak Zaenal, pria berkumis yang bertampang garang, malah berkomentar bahwa akal dan budi tidak bisa dipisahkan. Wah, kita memang lagi ngomongin itu. Kemane aje, Pak Zaenal? Heheh…

Berikutnya, Gola mem...persilakan Firdaus, pemimpin redaksi majalah berita TERAS, serupa TEMPO, tapi didistribusikan di sekitar provinsi Banten, untuk membeberkan seluk-beluk pekerjaan jurnalistik. Ternyata kebenaran sulit ditampilkan dalam sebuah tulisan dan ancamannya berat: masuk bui.

Pada satu titik, Firdaus memaparkan, bahwa atribusi atau pangkat atau teman di kala senang, tidak selalu bisa dijadikan teman di kala susah. Dalam satu pengalaman Firdaus dikepung puluhan orang, seorang Hindu menelepon dan seorang Katolik memberi bantuan. Sementara yang selama ini mengaku teman, tidak memunculkan batang hidungnya sama sekali. Pemaparan keadaan Banten yang sangat menarik.

Gola membesarkan hati peserta workshop, bahwa apapun yang terjadi, hati nurani itu tetap harus menjadi pijakan utama. Tidak semua wartawan itu baik. Tidak semua pejabat atau pengusaha itu buruk. Tapi, mereka juga manusia yang mempunyai hati nurani.

RD mendiami lokasi tanah seluas 1000m persegi, berbentuk segi empat, dengan tanah kosong di tengah-tengahnya dengan dua pohon besar (pohon apa ya itu), lalu ruang-ruang yang membentuk segiempat, mulai perpustakaan dewasa "Surosowan" di sebelah kanan pintu masuk, lalu sekretariat, panggung tempat latihan teater atau pertunjukan, perpustakaan remaja, toko buku, perpustakaan anak, ruang Jenderal Kancil, yang berfungsi seperti taman kanak-kanak.

Hari beranjak sore tapi teman-teman dari IKAPI muncul. Mereka perlu merekam aktivitas Gola sedang mementori workshop, karena film akan ditayangkan di pesta buku mendatang di Jakarta. Karena telah waktu shalat asar, kegiatan reda sejenak. Sambil memberi tip-tip praktis menulis cerpen, menceritakan alur dan plot, Gola direkam. Kami ikut jadi figuran.

Sebelum kembali ke Jakarta, kami bersantap siang di sore hari di rumah makan sederhana yang menjual rabeg (gulai kambing ala Banten), sate bandeng, soto. Soto ayam yang dipesan Rebecca dan Farianto uasin-nya nggak ketulungan. Setelah kami berdiri untuk pergi, kucing-kucing langsung menyerbu meja makan yang kami tinggali. Waduh, seperti di film horor deh. Tapi, kami menikmati perjalanan kunjungan ini.

Sekarang kita tunggu saja Hilda dan mimpinya membuat ‘rumah dunia’ yang lain.

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Taman Menteng


Bekas lapangan Persija yang pembongkarannya bikin heboh akhir tahun lalu, kini telah berubah eksotik.
Kini, warga Jakarta memiliki
sebuah lagi, taman baru di tengah
kota, dengan fasilitas olahraga
seperti lapangan basket, futsal,
dan voli, serta 44 sumur resapan.
Sesuai dengan namanya,
Taman Menteng terletak di
kawasan Menteng, Jakarta
Pusat. Tepatnya, di
jalan HOS Cokroaminoto.

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Friday, May 11, 2007

Dunia Belum Berakhir


Oleh Sansulung Johannes El Darsum

DUNIA dan perang seakan sepasang sumpit.
Itulah yang muncul menjadi kesan setiap insan yang mengenyam udara awal milenium ini. Bumi ini dilahirkan dari Kasih. Juga oleh, dengan, dan bagi Kasih. Walau begitu, hantu perang selalu setia menemaninya.
Ya, perang. Perang!
Will dan Ariel Durant (The Lessons of History, 1968) menyatakan bahwa sejak manusia bisa mencatat sejarah, yaitu lebih dari 3 milenium, ternyata hanya kurang dari 300 tahun yang bisa dinyatakan bebas konflik atau perang. Itu berarti lebih dari 90% riwayat hidup manusia, yang tercatat oleh sejarah, diwarnai oleh konflik dan peperangan.
Megatragedi Perang Dunia I dan Perang Dunia II telah menjadi noktah dekil dalam... catatan sejarah. Para pihak pemenang tragedi global terakhir itu pun kemudian terbagi menjadi dua kubu yang saling berhadapan dalam perang dingin. Kubu lainnya berjenis “nonblok” menyusul lahir, Gerakan Non-Blok. Kemudian, Blok Timur tak dapat bertahan. Diruntuhkannya Tembok Berlin menyimboli bangkrutnya sistem yang dicoba dibangun berdasarkan komunisme.
Perang dingin berakhir. Melangkah ke milenium ketiga, bangsa-bangsa mulai optimis akan masa depan dunia ini. Di kawasan Timur Tengah pun, saat itu, terbetik harapan rujuknya Israel dengan Palestina. Ada harapan akan tatanan dunia yang baru. Abad ke-20 yang dua kali mengobarkan api bencana global itu ternyata sanggup mengakhiri milenium kedua dengan “selamat”.
Di Indonesia pun, dada anak pertiwi bisa mulai bernafas lebih lega saat itu. Dipercayakannya tampuk pemerintahan kepada sosok yang dikehendaki rakyat secara demokratis, menimbulkan rasa keniscayaan untuk keluar dari krisis. Ada cinta dengan apa saja yang ikhlas diberikan, ada cita dengan semangat gotong royong untuk meraihnya.
:: SUVENIR MILENIUM BARU
Sedang giat-giatnya menggalang kebersamaan untuk memulihkan Asia dari stroke resesi ekonomi, sontak planet ini mendapat kejutan. Surprise…! Bukan sebuah hadiah yang dipersiapkan secara diam-diam oleh para sahabat, kerabat, dan kekasih untuk merayakan sebuah momen istimewa. Tetapi, sebuah tanda mata milenium ketiga dengan tanda tangan yang di-teken di ground zero di negaranya bung superman itu. Segenap penjuru kampung global terpana-na.
Olala. Si kembar ikon arogansi niaga globalisasi itu rebah ke bumi. Segilima posko satgas tempur nomor wahid sejagat pun tersruduk oleh salah satu dari 4 pesawat yang berhasil ditunggangi pembajak. Lebih dari 3.000 jiwa dikubur hidup-hidup dalam puing-puing WTC. Para panglima Pentagon tentu merah padam hatinya, bukan cuma naik tensi dan naik pitam tetapi juga malu tiada kepalang.
Dengan lihai, desainer serangan tersebut memainkan emosi bangsa superior tersebut. Tanggal September 11th, bisa ditulis 911 dalam kebiasaan beberapa negara. Sementara itu, bilangan 3 angka itu merupakan nomor telepon bagi masyarakatnya tatkala membutuhkan bantuan polisi, misalnya ketika ada ancaman penjahat. Kode 911, yang sangat akrab dalam keseharian mereka, kini menjadi memori trauma mahahebat.
Banyak yang menitikkan airmata atas jatuhnya korban ribuan jiwa. Banyak juga yang mengejek tidak berdayanya syarikat “adidaya” itu. Banyak juga yang menyoraki ide brilyan yang brutal itu. Banyak juga yang melaknati perancang serangan itu. Banyak juga yang mendoakan pahala bagi para pelakunya. Banyak juga yang menggugat ketidaksigapan aparatur pelindung bangsanya. Banyak juga yang menahan geraman yang siap disalakkan.
Ada juga yang menyebut megatragedi inovasi awal milenium ketiga itu sebagai awal Perang Dunia Ketiga! Namun, siapakah musuh yang harus diserang balas? Sampai saat ini bukti yang cakap masih sulit diungkap. Yang jelas, kemurkaan telah ditumpahkan kepada pihak yang memberi applause bagi tindakan biadab tersebut dan pihak yang berpotensi mendukung aksi sejenis.
Malu hati dan kalut otak telah membuat gelap mata. Karena merasa kedaulatan nation-state telah dirubuhkan oleh teror spektakuler itu, George W. Bush pun menganggap paradigma geopolitik yang dianut bangsa-bangsa sejak abad ke-16 itu sudah kuno dan tak relevan dalam menghadapi terorisme. Setelah rezim dukungan Al-Qaeda “dibersihkan” dari Afghanistan, giliran pun telah diputar ke arah Saddam Husein. Sang junior bertekad mengulangi sukses George Bush senior mengusir serdadu Saddam Husein dari Kuwait. Kali ini, penguasa Babylonia itu sendiri yang disuruh hengkang dari negerinya.
Saddam dituduh membangkangi resolusi PBB untuk melucuti semua senjata pemusnah masalnya, termasuk senjata biologi dan kimia yang digunakannya semasa Perang Teluk I. Persenjataan itu dianggap berpotensi digunakan oleh teroris. Alasan lainnya adalah bahwa rakyat negeri seribu satu malam itu memerlukan pembebasan dari diktator itu. Lagi-lagi, segenap penjuru kampung sejagat terpana-na-na. Lewat media dengar-pandang setiap saat, kehancuran dan korban jiwa dapat dilihati dan digerutui. Tayangan-tayangan kontak mata melalui Al-arabiya, Aljazeera, BBC, CCTP, dan CNN itu sungguh mengiris-iris sanubari kita. Dapatkah kekejian seperti ini dihentikan? Selama masih ada nafsu angkara, memang hal ini akan berulang terus.
Prof Arnold M Ludwig dari University of Kentucky, menelusuri ribuan kepala negara/pemerintahan seabad terakhir. Ludwig mengungkapkan betapa tingkah laku elite politik, yang disurvei, sangat ditentukan oleh naluri instinktif hewani untuk mendominasi secara psikis, seksual, dan egoisme.
Alois A. Nugroho dari Unika Atma Jaya (Kompas, 4/4’03) menulis: “Drama bellum omnium contra omnes bukan lagi sekadar the war of every man against man, tetapi lebih berupa the war of every civilization against civilization. Karena tidak ada ‘rasionalitas universal’, maka kompetisi klaim harus diselesaikan dengan kekuatan lain. Muncullah pemeo might is right, kekuatanlah yang akan menentukan siapa-siapa yang pantas disebut universal, yang dalam perkembangan sejarah lazim berhubungan dengan klaim kebenaran ‘final’ (Huntington/Ruslani, 2000:597).”
Semua itu, untuk memenuhi hasrat primitif pemimpin politik untuk saling menguasai. Tanpa peduli korban jiwa, efek keamanan dunia, maupun biaya yang diperlukan untuk penghancuran dan pembangunannya kembali nanti.
AS sendiri membutuhkan anggaran lebih dari lima ratus trilyun rupiah. Bagi mereka yang mengalami trauma mahahebat dengan kerugian moril dan materiil sangat besar, mungkin hal itu cukup masuk akal. Akibat serangan 911, selain ambruknya dua menara WTC, memang telah membangkrutkan beberapa perusahaan besar dan dilanjuti PHK besar-besaran. Lebih baik mencegah, itu logikanya. Dan, tentu ada hitung-hitungan tertentu jika mereka dapat bekerjasama dengan rezim baru dalam mengeksploitasi ladang minyak terbesar nomor dua di dunia itu.
:: WILAYAH PUSAT KONFLIK DUNIA
Christianto Wibisono dalam kolomnya di Suara Pembaruan, Wash’Wacth, menulis: “Gelombang terorisme berlatar belakang kebencian dengan isu Palestina itu mencapai puncak pada serangan megateror 11 September 2001 yang merupakan kegagalan imajinasi FBI/CIA. Tidak pernah terpikir bahwa ada manusia bisa begitu kejam, keji dan sadis membunuh sesama manusia tanpa sebab, tanpa konflik, tanpa salah dan tanpa alasan. Kecuali alasan tradisional bahwa AS membela Israel anti-Palestina, karena itu pantas dibantai secara kejam pada 11 September.”
Kawasan Timur Tengah memang pantas dijuluki thermometer bahkan barometer suhu dunia. Geliat konflik di kawasan ini semakin bergolak ketika negara Israel berdiri dengan dukungan dari Inggris dan AS. Perang di kawasan ini pun mengekspor ekses konflik dengan isu-isu keagamaan ke belahan dunia lain. Sebuah pemahaman keyakinan agama seringkali menjadi harga mati yang patut dibela sampai mati. Beberapa pemimpin bangsa Arab, yang sekuler sekalipun seperti Saddam Husein, pandai sekali memainkan hal ini.
Apalagi, memori kesumat Perang Salib (crusade) sulit dihapuskan dan kerap membumbui konflik-konflik masa kini. Melalui rekaman audio tape, Osama bin Laden menganjurkan jihad melawan The Crusaders. Perang Salib memang telah meninggalkan luka budaya terdalam bagi bangsa Arab dan Yahudi.
Sejak tahun 638 Masehi, Yerusalem telah direbut dan dikuasai oleh Khalif Omar. Walikota yang beragama Islam pun menunjukkan toleransi kepada seluruh warga, termasuk orang Kristen dan Yahudi. Namun, ketika Yerusalem jatuh ke tangan pasukan Perang Salib pada tahun 1099, terjadilah salah satu kesalahan besar gereja. Pasukan itu menghebohkan dunia dengan pengkhianatan mereka, dengan membantai warga Yerusalem yang mayoritas orang Arab. Mereka juga membakar sinagoge beserta orang-orang Yahudi yang bersembunyi di dalamnya. Tentara Perang Salib mengesahkan tindakan terhadap orang-orang Yahudi itu sebagai doktrin kompensasi karena orang-orang Yahudi telah membunuh Yesus di kayu salib. Saat gereja-gereja Protestan muncul, teologi beberapa denominasi juga melanjutkan penganiayaan ini. Akhirnya, memuncak pada masa Nazi Jerman.
Hati bangsa Yahudi memang sedemikian keras sehingga membuat mereka sulit dijangkau bagi Injil. Tetapi, janji-janji Allah yang ditujukan bagi Israel lahiriah tidak dapat digagalkan kembali tanpa meragukan integritas-Nya “Mengenai Injil mereka adalah seteru Allah oleh karena kamu, tetapi mengenai pilihan mereka adalah kekasih Allah oleh karena nenek moyang.” (Roma 11). Allah juga menepati janji-Nya untuk menyertai Ismael dan membuat keturunannya menjadi bangsa Arab yang besar saat ini. Beginilah Firman Allah kepada Abraham mengenai Hagar, istrinya, “Tetapi keturunan dari hambamu itu juga akan Kubuat menjadi suatu bangsa, karena iapun anakmu.” Allah juga berfirman Hagar mengenai Ismael, anak Abraham, “Bangunlah, angkatlah anak itu, dan bimbinglah dia, sebab Aku akan membuat dia menjadi bangsa yang besar.” (Kejadian 21).
Menurut Rick Joyner dari MorningStar Ministries, pasukan Perang Salib telah menabur berbagai kekuatan, filsafat, dan teologi yang paling jahat ke dalam dunia. Buahnya adalah timbulnya kebencian turun temurun sehingga jutaan orang terpisah dari Injil. Orang-orang Kristen harus bertobat dari dosa-dosa mereka terhadap orang-orang Islam dan Yahudi. Paus Yohanes Paulus II tampaknya telah menyatakan kebenaran ini dengan semangat dan kerendahan hati yang besar sehingga seluruh dunia perlu memperhatikannya.
Dengan mengidentifikasi dan bertobat dari dosa bapa-bapa kita itu, kita akan menerima kelepasan dari dosa generasi itu sehingga tidak mengulanginya. Bukan dengan mengritiknya, karena kritik itu sebenarnya justru memastikan bahwa kita juga akan jatuh. Tetapi dengan menganggap dosa-dosa itu sebagai masalah kita, bukan hanya masalah mereka. Ya, kita harus bertobat dari masalah kita bersama itu dan mencari kasih karunia Tuhan.
Kita bersyukur bahwa terhadap agresi ke Irak oleh AS, cukup signifikan jumlah kelompok gereja di seluruh dunia yang angkat suara dan angkat tangan untuk menentangnya. Di Indonesia pun, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia bergabung bersama pemimpin agama lainnya dalam Gerakan Moral Nasional dan telah mencoba mencegahnya sebelum invasi dilancarkan. Mereka juga berangkat ke Vatikan untuk menyatakan dukungan kepada Paus yang secara tegas menentang serangan tersebut.
:: PEPERANGAN PROFETIK
Iman Kristen menempatkan gereja dalam posisi yang mulia, sebagai penjaga gawang standar moralitas. Tatkala mengakui kesalahannya, gereja belajar untuk rendah hati dan menjadi teladan untuk mengatakan yang salah adalah salah dan yang benar adalah benar. Keterbukaan ini juga penting agar tidak lagi menghambat terjadinya kebangunan rohani.
Keterbukaan ini akan menjadi sarana pembelajaran bagi kita untuk kembali kepada kuasa profetik kita, bukannya mengandalkan kekuatan politik dan militer. Karena, peperangan kita adalah peperangan profetik. Peperangan politik dan militer mengakibatkan kematian. Sedangkan, peperangan profetik akan membuahkan kebangunan rohani.
Sesungguhnya Tuhan Yesus telah memberikan kita kuasa profetik itu “untuk menginjak ular dan kalajengking, dan untuk menahan kekuatan musuh.” Musuh bersama kita saat ini sedang menyemai bibit penyakit jasmani (AIDS, SARS, dll), penyakit jiwani, dan penyakit rohani dalam waktu bersamaan.
Billy Graham (Damai Dengan Allah, YBK/OMF), mengutip Profesor Sorokin, mengatakan, “Kita hidup di tengah-tengah salah satu dari krisis-krisis yang terbesar dalam sejarah manusia. Bukan saja peperangan, bencana kelaparan, penyakit dan revolusi, tetapi banyak lagi bencana-bencana lain merajalela di seluruh dunia. Segala nilai dan norma hidup menjadi tidak menentu dan rusak. Krisis memasuki bidang-bidang sosial, ekonomi, politik, dan seluruh cara hidup dan pola pikir. Melihat semua itu, persangkaan kita cukup beralasan bahwa akibat-akibat yang dahsyat akan menimpa kita secara besar-besaran dalam zaman kita ini.”
Apakah kiamat di zaman akhir ini segera tiba? Apakah Tuhan Yesus segera datang besok, bulan depan, atau tahun depan? Kita tidak tahu persisnya. Yang pasti, saat ini dunia belum berakhir. Dan, selama itu pula, peperangan kita belum berakhir. Di dalam peperangan yang bukan melawan darah dan daging ini, kita akan menjadi kuat di dalam Dia dengan mengenakan kuasa profetik yang dilimpahkannya (Efesus 6:10).
Kita masih menantikan datang kembalinya kebangunan rohani yang lebih besar dibandingkan yang terjadi di masa lalu. Anak-anak Tuhan semakin bertumbuh dewasa serupa Kristus. Gereja yang dewasa akan bersatu dalam ikatan kasih. Kerajaan Allah akan datang dalam kuasa Roh Kudus, bukan dengan kekuatan militer. Kehendak-Nya akan ditegakkan dalam hukum kasih, bukan oleh hukum rimba (might is right).

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Hidup dalam Kesederhanaan

Oleh Gavrila Pinasthika
Semua orang mengenal warteg alias Warung Tegal, yang merupakan tempat makan yang sudah menjamur di Nusantara. Jika seseorang menanyakan Anda tentang bentuk fisik warteg, tentu Anda akan membayangkan sebuah ruangan kecil sederhana dengan meja dan lemari kaca yang berisi berbagai macam makanan, serta sebuah atau beberapa kursi panjang tanpa sandaran untuk pengunjung.
Keberadaan warteg dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Dari segi sosial, warteg merupakan tempat yang banyak dikunjungi orang dari strata sosial yang berbeda. Tidak hanya dari buruh bangunan, tukang becak, dan orang-orang dari kelas ekonomi bawah, terkadang kita juga dapat melihat... orang-orang dari kalangan menengah, seperti pekerja kantor dan mahasiswa, makan di warteg. Warteg menjadi pilihan banyak orang karena harganya yang ekonomis.
Dari segi kesehatan, memang ada beberapa warteg yang kurang memenuhi standar kesehatan, seperti misalnya banyaknya lalat yang mengerubungi makanan, ruangan yang kotor, dan sebagainya. Namun, banyak juga warteg memiliki ruangan yang relatif bersih. Menu di warteg pun terdiri dari beragam masakan seperti tempe goreng, mi goreng, telur dadar, sayur kangkung, ikan goreng, ayam goreng, dan makanan lainnya. Sesungguhnya, warteg mempunyai varian makanan yang lengkap yang memenuhi standar 4 sehat 5 sempurna.
Sekarang kita tahu secara garis besar tentang warteg, namun, tahukah kita bagaimana kehidupan pedagang warteg? Berikut hasil wawancara saya terhadap beberapa pedagang warteg yang berada di ibukota dan di luar ibukota.
Wawancara pertama yang saya lakukan adalah dengan pedagang warteg di Semarang, tepatnya di depan Universitas Diponegoro. Warteg itu bernama Warteg Ibu Dwi. Ibu Dwi menjalankan usaha ini bersama suaminya. Mereka telah menjalankan usaha warteg sejak lama, namun mereka baru menetap di tempat kontrakan mereka di Semarang 2 bulan lalu. Sebelumnya mereka berjualan warteg di Jakarta.
Ibu Dwi dan suaminya adalah orang Tegal. Pendapatan kotor mereka per bulan dari berjualan warteg kira-kira Rp 600.000,- per bulan. Jumlah ini memang tergolong kurang, namun kehidupan di kota Semarang masih memungkinkan mereka untuk hidup sederhana dengan seorang anak lelaki yang berumur 5 tahun. Ketika Lebaran tiba, mereka akan pulang ke “daerahnya” yaitu di Tegal untuk menunaikan Hari Raya dan bertemu dengan keluarga.
Keseharian Ibu Dwi dimulai dengan bangun pagi pk 04.00, setelah itu langsung memasak makanan untuk dijual sejak pk 05.00. Sejam setelah itu barulah warteg dibuka. Semua makanan selesai dimasak pada kira-kira pk 10.00. Setelah itu, Ibu Dwi dan suaminya melayani pembeli hingga makanan habis atau paling lambat hingga pk 21.00.
Ibu Dwi mengakui, salah satu kesulitan dari menjalankan usaha warteg ini adalah kurangnya modal dan kenaikan harga sembako. Namun berkat keahlian masak turun-temurun dalam keluarganya, wartegnya bisa berkembang. Ibu Dwi juga sudah membuka cabang dari wartegnya, yang berada di Bogor dan dijalankan oleh adiknya.
Pengunjung yang datang ke warteg Ibu Dwi ini kebanyakan adalah mahasiswa dari Universitas Diponegoro dan pekerja bangunan. Alasan mereka makan di warteg adalah karena harganya yang murah, yaitu sekitar Rp 3.000,- untuk makanan dan Rp 1.500,- untuk minuman.
Di Semarang, Ibu Dwi dan suaminya juga mengikuti semacam organisasi warteg, yaitu Koperasi Warteg. Di perkumpulan yang semua anggotanya orang Tegal murni ini, pengusaha-pengusaha warteg di Semarang dapat memperoleh pinjaman modal untuk mendirikan warteg atau mendirikan cabang baru. Di perkumpulan ini pula mereka dapat berdiskusi tentang suka-duka menjalankan warteg, tips-tips baru dalam memasak, bahkan reuni keluarga. Jelas sekali semangat kekeluargaan dan gotong-royong yang tinggi tampak dalam perkumpulan ini.
Wawancara kedua yang saya lakukan adalah kepada pedagang warteg di ibukota Jakarta. Warteg ini bernama Warteg Aida. Ibu Aida menjalankan usaha ini semenjak tahun 1995 yang lalu. Awalnya ia bertani, namun karena pendapatan yang diperolehnya belum dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari, ia mulai menekuni bisnis warteg.
Awal-awal Ibu Aida menjalankan usaha ini memang dirasanya berat. Dahulu, ia harus mengontrak selama beberapa tahun dengan biaya Rp 3 juta per tahun. Setelah usahanya berjalan cukup lancar, ia berencana membeli tempat seluas 70 m2 itu dengan harga Rp 3,5 juta per meter (total Rp 245 juta). Kini Ibu Aida telah mempunyai warteg yang cukup luas serta lemari pendingin untuk minuman. Bahkan, ibu 2 anak ini berhasil membiayai anaknya hingga sarjana dan menikah.
Ibu Aida yang mempunyai 2 anak dan 1 cucu ini menggaji 3 pembantu untuk melayani tamu, yang digajinya Rp 900 ribu. Jumlah ini dirasa cukup dari pendapatan kotornya yang berjumlah Rp 4 juta per bulan, suatu jumlah yang menurutnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun, tidak semua perjalanan Ibu Aida mulus. Pernah ia berniat untuk meluaskan usahanya dengan membuka cabang di Purwokerto. Namun karena ulah pegawainya yang tidak bertanggung jawab, yaitu mencuri perabotan dan peralatan wartegnya, ia tidak dapat menjalankan usaha tambahannya. Di samping itu, tidak sedikit pembeli yang ‘nge-bon’ atau berhutang dulu padanya. Kebanyakan dari mereka memang membayar utang mereka, namun beberapa ada yang tidak, bahkan lupa sama sekali untuk membayar utangnya. Menghadapi semua tantangan tersebut, Ibu Aida tetap bersyukur dan optimis untuk mencoba membuka cabang lagi.
Berbeda dengan warteg Ibu Dwi di Semarang, pengunjung warteg Ibu Aida kebanyakan dari kalangan menengah, seperti misalnya pekerja kantoran, sopir taksi, maupun pekerja proyek bangunan. Sama seperti pengunjung-pengunjung warteg pada umumnya, mereka senang makan di warteg dikarenakan harga makanannya yang murah, yaitu di antara Rp 3.000,- hingga Rp 3.500,- per porsi. Harga ini tidak ditentukan oleh sesama pengusaha warteg. Walaupun setiap pengusaha mempunyai harga sendiri-sendiri, namun rata-rata sama dengan harga makanan di warteg Ibu Aida.
Ibu Aida juga mengakui bahwa ada suatu pertemuan khusus pengusaha warteg di Jakarta, yaitu Arisan Warteg. Sama seperti di Semarang, semua anggota arisan ini juga orang Tegal seluruhnya. Arisan ini diadakan sebulan sekali. Ibu Aida senang menjadi bagian dari perkumpulan ini, karena dengan begitu ia dapat mengetahui setiap perkembangan warteg yang berada di Jakarta.
Keseharian Ibu Aida tidak jauh berbeda dengan Ibu Dwi. Ia bangun pagi pada pk 05.00. Setelah itu, ia mandi, sholat, lalu memasak hingga pk 06.00. Ia juga dibantu ketiga karyawannya ketika memasak. Jika bahan-bahan masakannya habis, Ibu Aida biasa membelinya di Pasar Minggu. Modal yang dikeluarkannya untuk membeli bahan-bahan masakan ini juga tidak murah, misalnya saja untuk memasak nasi, ia membutuhkan 1 karung beras 50 kg yang akan habis setelah 2 hari. Ketika Lebaran, Ibu Aida beserta keluarganya juga akan pulang ke kampung halamannya dan bercengkerama dengan handai taulan di Tegal. Di Tegal jugalah, ia akan merekrut seorang atau beberapa pembantu baru untuk membantunya menjalankan usaha warteg.
Demikianlah hasil wawancara saya terhadap dua contoh pedagang warteg yang berada di Jakarta dan di luar Jakarta. Kita dapat menarik suatu kesimpulan di sini, bahwa dalam setiap usaha, kerja keras dan optimisme yang tinggi dapat mengantarkan kita menuju kesuksesan dan mimpi-mimpi kita. Kalaupun gagal, hendaklah kita berpikir bahwa kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Di samping itu, kita juga perlu mengingat bahwa hidup tidak hanya bergantung pada materi, tapi juga rasa kekeluargaan dan hubungan sosial kita dengan orang lain. Pengusaha-pengusaha warteg di atas dapat hidup sederhana dan tetap bahagia serta bersyukur dengan hidup yang sudah mereka jalani, mengapa kita tidak mencontoh mereka?

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Tuesday, May 8, 2007

Ketukan Malam Dari Surga

Oleh Hilda Nababan
MALAM ITU DI JALAN KAYU PUTIH 1, tampak dua sosok perempuan sedang berjalan menembus heningnya malam. Eli beserta teman kostnya berniat mendatangi rumah Bernadeth. Jarak kost mereka dengan tempat tinggal Bernadeth hanya beberapa blok sehingga bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tidak seperti biasanya, rumah tersebut tampak gelap dari luar.
“Tok tok tok…”
“Fidel…Fidel…,” seru Eli memanggil anak lelaki Bernadeth yang berumur 13 tahun. Ternyata, yang keluar adalah... mamanya. Mereka dipersilahkan masuk, disambut dengan ruangan tak bercahaya, suram, dan terlihat kamar tidur berantakan. Kelesuan tersirat di wajah Ibu Bernadeth. Seperti tak ada gairah kehidupan. Bernadeth adalah ketua home cell mereka di Gereja Katolik Bonaventura. Tak tampak profil seorang pembina rohani yang biasanya selalu penuh senyum, kehangatan, dan semangat hidup dalam menggembalakan jiwa-jiwa.
“Hei… Kak Bernadeth, lagi ngapain nih gelap-gelapan begini? Fidel lagi di mana?,” tanya Eli dengan penasaran.
”Tau nih, saya lagi hamil, si Fidel pergi ke BSD malam-malam begini. Sudah begitu, suami saya malah mengijinkan Fidel pergi. Saya tidak bisa terima tuh, tambah ruwet,” jawabnya. Seakan ingin melepaskan beban hidup yang menghimpitnya, sederetan kata-kata bernada keputusasaan keluar begitu saja dari bibirnya.
“Hhehhhh… Hidup saya lagi kacau balau nih. Ingin rasanya bunuh diri.” Matanya menerawang. Berbagai perasaan berkecamuk dalam benak wanita ini.
Eli sempat terpelongo karena baru kali itu dia melihat ketua home cell-nya tak berdaya. Eli bertanya dengan hati hati.
“Hmmmm…kenapa kak, kok hamil-hamil mau mati? Boleh saya tahu ada apa, Kak?”
“Hidup saya terlalu berat untuk dijalani. Saya sedang hamil. Fidel kabur entah ke mana. Ini juga benjolan-benjolan kecil yang kayak kacang ijo di bawah kulit payudara sangat sakit sekali. Kadang-kadang darah keluar dari puting, ampun….perihnya! Sepertinya jurang sudah siap menyantap saya. Hamil saya kali ini, saya merasa capek banget deh, jasmani dan rohani, jauh dibanding hamil pertama. Kadang-kadang saya ingin menyudahi hidup,” lirihnya.
“Kak Bernadeth, saya ingin sekali agar permasalahan kakak bisa kita tanggung bersama. Saya memang belum pernah menikah dan tidak mempunyai anak. Mungkin saya tidak bisa merasakan persis apa yang Kak Bernadeth rasakan, tapi Tuhan tahu semua yang kakak alami. Kakak tidak berjalan sendirian. Ada saya dan anak-anak home cell yang lain siap memberi pertolongan.”
Warna hidup menjadi berbeda, gairah menyala kembali. Pertolongan Tuhan tak pernah terlalu dini atau pun terlambat. Seruan kata-kata iman kesembuhan terhadap kanker payudara kirinya, dilontarkan setiap hari pasca kehamilannya.
“Tuhan…bakarlah semua benjolan yang ada di tubuhku. Aku tahu Engkau menolongku tidak setengah setengah.”
Dalam hitungan 4 bulan kehamilannya, lambat laun benjolan-benjolan kecil yang ganas, bernanah serta berderet dan bergelayut di bawah kulit payudara, mengempes dan layu. Pertolongan dan penguatan teman-teman seiman terus bergulir menghampiri Ibu Bernadeth. Sungguh, pertolongan Tuhan mengepungnya.
::
“HELEN, AKU BARU SAJA MENDAPAT INFO DARI TEMAN MARIA, bahwa ada ibu yang akan melahirkan dan butuh bantuan dana,” ujar Agnes.
“Memangnya kenapa?,” tanya Helen mengharapkan penjelasan yang lebih rinci.
“Soalnya ibu itu, namanya Bernadeth, ada kanker payudara di sebelah kiri sehingga harus operasi caesar. Tapi, tidak punya dana cukup untuk biaya operasi caesar,” jelas Agnes lebih lanjut.
“Oh..gitu. Ok deh kita bawa permasalahan ini kepada pemimpin AOC,” ujar Helen menutup pembicaraan lewat telpon di akhir tahun 2006 itu. Helen adalah salah satu staf yang bekerja di Poliklinik “Kasih” Kana. Sedangkan Agnes adalah salah seorang anggota jemaat AOC, Maria adalah kakaknya.
Sabtu, 27 Januari 2007, tepatnya jam 22.46 di Rumah Sakit Carolus, Jakarta Pusat.Dunia bertambah jumlah penghuninya dengan kelahiran Pio Rafael De Euksritia. Panjang 48 cm dan berat 3,5 kg. Operasi caesar dibantu pembiayaannya oleh gereja AOC.
Ucapan syukur mengalir dalam kehidupan keluarga Bernadeth dengan memberitahukan kabar gembira kepada teman-teman dan para sahabatnya. Turut merasakan kebahagiaan mereka, Maria berkomentar, “Kak Bernadeth, sudah saatnya mengampuni mama, biar berkat dan anugerah turun loh.”
“Iya, betul. Telpon mama Kak Bernadeth gih, kabarin kelahiran Pio. Ayo dong ampuni mama. Apapun yang pernah terjadi di masa lalu biarlah berlalu,” balas Florida, teman Maria dengan antusias. Bernadeth terhenyak dengan anjuran kedua malaikat yang sangat peduli akan hidupnya. Namun, ia masih ragu-ragu.
“Aduh, kalau soal memberitahukan kelahiran mah gampang. Tapi, kalau mengampuni, aduh, aduh, sudah bertahun-tahun tidak ada komunikasi sama mama. Jadi inget-inget lagi deh yang lalu,” melas Bernadeth.
Maria terus menyemangati, “Ayo, mulai ampuni mama. Biar berkat-berkat tidak tertahan, biar hidup Kak Bernadeth penuh dengan kemajuan.”

::
SUATU HARI SETELAH SI KECIL PIO BOLEH DIBAWA PULANG.
“Halo, siapa ini?”
Terdengar jawaban di seberang sana, “Ma, aku Bernadeth.”
Tangis pun pecah.
“Maafin mama ya, ampuni mama ya.”
“Sudahlah, Ma. Bernadeth juga minta maaf. Jangan diingat-ingat yang lalu. Aku sudah melahirkan anak kedua,” kata Ibu Bernadeth melalui telpon kepada mamanya. Tak banyak yang diuraikan, namun mengandung makna yang sangat dalam antar ibu dan anak ini.
Wajah Bernadeth tampak berbinar-binar. Ternyata selain kehadiran kedua buah hatinya, hubungan Bernadeth dengan mamanya mencair setelah bertahun-tahun tidak ada komunikasi. Terjadi rekonsiliasi di antara mereka.
Kejadian demi kejadian itu, sungguh tepat seperti yang dikhotbahkan oleh salah seorang pemimpin jemaat AOC, Eddy Sariatmadja, pada 22 April 2007. Tatkala kita memberi bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan, sesungguhnya kita bukan hanya sedang menyalurkan bantuan semata, tetapi kita sedang menyalurkan iman bagi terjadinya mukjizat laksana anak kecil yang memberi 5 roti dan 2 ikan.
“Inilah yang terpenting dalam kehidupan saya, bahwa saya sudah bisa dekat dan berhubungan kembali dengan mama,” ungkap Bernadeth.
“Salam ya buat seluruh pemimpin dan jemaat AOC yang sudah bantu biaya kelahiran Pio. Saya sangat terberkati kasih Tuhan melalui kalian. Tuhan memberkati,” serunya sambil melambaikan tangan mengiringi Darsum, Hindrasto, dan Hilda yang bergegas masuk ke dalam mobil karena hujan deras turun disertai angin yang berhembus kencang sore 22 April 2007. Kami dari tim The Newsmaker meluncur pulang dengan hati bersyukur kepada Tuhan atas sebuah kisah nyata yang luar biasa.
Betapa tidak. Sebelumnya, kita sama sekali tidak mengenal Bernadeth. Lewat sebuah rantai yang cukup panjang, pertolongan Tuhan dapat kita salurkan bagi keluarga Bernadeth. Bayangkan. Helen-Agnes-Maria-Florida-Eli-Bernadeth & mamanya. Tuhan memiliki banyak cara untuk menolong dan memulihkan umat-Nya. Bagian manusia adalah tetap menjaga iman bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Amin!

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Tukul Arwana [Empat Mata eps. Keluarga]

Maaf, tidak ada teks.

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Kecil-Kecil Ngobyek


Oleh Sansulung Johannes El Darsum

BANYAK orang ingin melihat perubahan di dunia. Orang yang bercita-cita mengubah dunia juga tak kalah banyaknya. Mahatma Gandhi berkata, “Kita harus menjadi perubahan yang ingin kita lihat di dunia.”
Membuat sebuah perbedaan di dunia. Begitu suara dari hati kecil banyak orang yang ingin memberi sumbangsih bagi dunia kita. Dalam banyak hal, sebenarnya setiap hari kita telah membuat suatu perbedaan. Kita sering tidak menyadarinya, karena perbedaan itu biasanya dimulai dari hal-hal kecil. Bukan hanya milik orang dewasa, karena anak kecilpun memiliki suara itu, dan dapat membuat perbedaan juga.
Saya sangat terkesan dengan kejadian pada tanggal 8 Desember 1983 di kota Philadelphia yang diceritakan oleh pengembang kepemimpinan Wayne Cordeiro dalam buku “Pembebas Impian”. Saat itu, Trevor Ferrel mendengar berita malam bahwa para tunawisma terancam kematian seketika karena suhu udara kota Philadelphia turun di bawah titik beku.
Trevor merespon suara di hati kecilnya dengan gagasan sederhana di benaknya. Ia ingin memberikan selimut yang tidak begitu ia butuhkan di rumahnya yang hangat. Anak lelaki 11 tahun ini memutuskan untuk segera bertindak! Akhirnya, keteguhan hati Trevor meluluhkan keengganan orangtuanya untuk mengantarnya menemui seorang tuna wisma yang menggigil di jalanan.
Tak hanya sampai di situ. Pengalaman malam itu membuat Trevor bersikeras untuk kembali membawa lebih banyak selimut pada malam-malam berikutnya. Kehabisan selimut di rumahnya sendiri, giliran para tetangga yang dibuatnya frustasi.
Segera, misi kepedulian ini menggemparkan kota dan mengilhami kelompok-kelompok lain mendengar suara hati mereka. Seperti para mahasiswa lokal, restoran cepat saji, dan siapa saja ikut bergerak sesuai kemampuan mereka. Namun, seperti biasa, ada juga kelompok skeptis yang kurang mendukung gerakan itu.
Pendekatan Budi-pekerti seorang bocah diadu dengan pendekatan Akal-penalar profesor sosiologi, “Ketunawismaan adalah masalah yang rumit, sehingga membutuhkan jalan keluar yang rumit pula, tidak sesederhana solusi Trevor.” Apa jawaban Trevor? “Saya benar-benar tidak tahu. Saya hanyalah anak kecil.” Trevor melanjutkan, “Tetapi, apakah para tunawisma itu lebih menginginkan selimut atau jalan keluar yang rumit itu?”
Suara gerakan Trevor bergaung sampai ke Calcutta, India. Mother Teresa pun mengundangnya untuk melihat pekerjaan welas asih di India. Bukan hanya lintas benua, suara hati Trevor tetap terdengar melintas ke abad baru hingga dua dasawarsa ini. Tercatat, lebih dari 1.800 tunawisma yang bukan saja telah mendapat selimut, tetapi juga tempat tinggal tetap.
Bukan, bukan hasil besar itu yang menjadi prioritas Trevor, tetapi passion dan inisiatif untuk menyentuh kehidupan satu orang tunawisma saja pada malam itu yang telah membuat sebuah perbedaan besar.
Sejak akhir tahun 1983 itu, tidak seorang pun tunawisma yang meninggal karena kedinginan di jalanan kota Philadelphia. Padahal, pekerjaan besar dan agung tersebut hanya dimulai dengan sebuah gagasan di benak Trevor yang merespon suara hatinya. Sebuah contoh sinergi Akal-penalar yang sederhana dengan Budi-pekerti yang jernih.
Beberapa kejutan yang pernah terjadi dalam kehidupan kita pun, barangkali dikarenakan kita telah membuat perbedaan secara tidak sengaja. Misalnya, sebuah tepukan di bahu atau senyuman bagi seorang kawan mungkin telah menguatkan hatinya yang tengah dilanda krisis semangat hidup.
Mungkin pula, kita bingung apakah sebuah perbuatan kecil kita akan mendatangkan perbedaan yang baik atau buruk. Misalnya, ketika berkendaraan dan berhenti di “lampu merah”. Anak-anak jalanan menghampiri Anda. Lantas, Anda berpikir, “Apakah seratus rupiah yang saya berikan akan menjadi madu atau racun bagi anak itu?”
Anda betul. Uang receh itu mungkin akan menjadi madu bagi anak itu. Hal ini terjadi jika uang dari Anda itu bersama beberapa uang receh lainnya yang ia kumpulkan akan digunakan untuk biaya sekolah atau keperluan penting lainnya.
Namun, Anda betul juga, uang receh Anda itu mungkin pula akan menjadi racun bagi anak itu. Hal ini terjadi jika uang itu sekadar digunakan untuk membeli rokok atau minuman keras. Atau, ini yang paling berbahaya, “meracuni” mentalnya untuk hidup dari mengemis yang pada akhirnya mengekang potensi dirinya.
::
SOLUSI ALTERNATIF KETIGA
Jadi, apa yang harus kita lakukan jika diperhadapkan dengan situasi ini? Peter F. Drucker mengajak kita berpikir kreatif. Menurutnya, di dalam semua persoalan yang benar-benar tidak memiliki kepastian, seseorang memerlukan berbagai solusi kreatif untuk bisa menciptakan sebuah situasi yang baru. (The Efective Executive, Elex Media Komputindo, 1997).
Dalam buku terbarunya, “The 8th Habit”, Stephen R. Covey menganjurkan untuk mencari alternatif ketiga sebagai solusi sinergis. Menurutnya, alternatif ketiga bukanlah kompromi di tengah-tengah, melainkan sesuatu yang lebih baik daripada kompromi. Orang Buddha menyebutnya Jalan Tengah, sebuah posisi tengah yang lebih tinggi –seperti ujung atas segitiga— dan lebih baik daripada dua alternatif yang ada sebelumnya.
Sedangkan Charles E. Smith, seperti yang telah saya kutip dalam buku saya "Awaking The Excellent Habit", mengemukakan, “Tantangan kita dalam mendefinisikan pintu-pintu gerbang di antara dua dunia adalah: menemukan batasan-batasan inovatif yang—dengan sendirinya—mengarah pada kemungkinan-kemungkinan yang baru dan menyatu bagi manusia.”
Charles E. Smith memakai ungkapan “kemungkinan baru”, yang diperoleh dari menemukan batasan inovatif. Drucker memakai ungkapan “situasi yang baru”, yang dapat dihasilkan oleh solusi kreatif. Covey memakai ungkapan “alternatif ketiga” sebagai hasil dari upaya kreatif sepenuh hati.
Kembali kepada situasi menghadapi anak-anak jalanan, apa yang harus kita perbuat? Kemungkinan baru, situasi yang baru, atau alternatif ketiganya seperti apa? Di sinilah upaya kreatif sepenuh hati, dengan menyinergikan pendekatan Akal-penalar dan Budi-pekerti, memberikan solusi inovatif. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh United Nations Volunteer (UNV) melalui kampanye “Stop Beri Uang, Beri Kami Kesempatan” di jalanan kota Jakarta.
Tanggal 5 Desember telah ditetapkan sebagai Hari Volunteer Sedunia. Dalam rangka memperingatinya, pada tanggal 5 Desember 2004, PBB dalam hal ini melalui UNV melakukan kampanye di Jakarta untuk kepedulian terhadap anak jalanan. Harapannya, kampanye ini akan mengubah paradigma masyarakat terhadap pemberian kepada anak jalanan serta menggalang para sukarelawan yang mendukung kampanye tersebut.
Begini, sebagian bunyi kampanye mereka:
Stop Beri Uang, Beri Kami KesempatanHentikan Memberi Uang Kepada Anak Jalanan. Banyak pihak yang telah mencoba menolong mereka dengan memberikan sekolah gratis, makanan gratis dan rumah singgah bagi mereka. Namun mereka tetap kembali ke jalan. Mengapa? Karena Uang Anda!Karena setiap hari mereka memperoleh "uang gampang" pa ling sedikit Rp.25.000,- itu berarti dalam sebulan mereka bisa memperoleh Rp.750.000,- Jumlah yang cukup besar, tidak heran mereka memilih untuk tetap di jalan.
Tapi jika dibiarkan, 10-20 tahun lagi mereka akan tetap berada di jalanan dan bisa jadi menjadi preman yang tinggal di jalan dan melahirkan anak-anak kurang mampu dan yang tidak berpendidikan. Ini akan menjadi lingkaran setan di negara kita.
Mereka bukannya tidak punya pilihan lain, apa yang bisa kita lakukan agar mereka tidak berada di jalanan lagi ?
1. Berhenti memberikan uang kepada mereka di jalanan.
Dengan begitu kita menolong mereka dari resiko-resiko berbahaya serta memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyambut uluran tangan yang berguna untuk masa depannya kelak. Dengan kita berhenti memberikan "uang gampang" berarti kita telah menjadi sukarelawan pasif dalam usaha pemulihan hak asasi anak. Di satu sisi kita kasihan melihat mereka namun jika kita memberi uang maka mereka akan tetap seperti itu dan tidak mau menyambut uluran tangan yang berniat membantu mereka. Di sisi lain, dengan tidak memberikan uang kepada mereka di jalanan, maka kita dapat berharap masa depan mereka akan lebih baik dari sekarang ini.
2. Dukung semangat mereka untuk bekerja dan berusaha.
Berikan reward kepada semangat bekerja dan berusaha. Sebisa mungkin, meskipun akan ada selisih harga, belanjalah kebutuhan Anda kepada usaha-usaha yang dikelola oleh mereka. Anggaplah selisih harga ini sebagai derma untuk mereka. Lebih ekstrim lagi, belanjalah kepada mereka meskipun Anda tidak terlalu membutuhkan barangnya. Hal ini sekali lagi jauh jauh lebih baik daripada sekedar memberikan "uang gampang" kepada mereka di jalanan. Lewat tindakan kita dan kesempatan yang kita berikan, kita secara tidak langsung sedang memulihkan hak-hak asasi anak menurut "Konvensi Hak Anak" PBB (diratifikasi Keppres RI No.36/1990): hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk memperoleh perlindungan, hak untuk berpartisipasi.
Upaya kreatif sepenuh hati dapat menawarkan solusi inovatif bagi kita untuk membuat sebuah perbedaan. Sesuatu yang sederhana dan tidak sulit, bukan? Ya, karena kita semua diciptakan (created) oleh Sang Pencipta (Creator) sebagai ciptaan (creature) yang memiliki daya cipta (creativity). Yang diperlukan hanyalah upaya sepenuh hati, yaitu dengan menyinergikan pendekatan Akal-penalar dan Budi-pekerti.
Ayo kita “ngobyek”. Ngobyek membuat perbedaan di dunia kita masing-masing. Dan, dimulai dari hal yang kecil. Sekarang.

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.