Thursday, October 25, 2007

The Secret vs Purpose Driven Christian

Oleh Sansulung John Sum

30 Agustus 2007, hari terakhir saya bersama tim kantor kepresidenan bertugas di Gorontalo, Sulawesi. Penerbangan pulang ke Bandara Soekano-Hatta mulus-mulus saja. Hanya ada sedikit turbulansi lazim tatkala akan transit di Bandara Hasanuddin, Makassar.

Dari Soekarno-Hatta, saya mampir di Jakarta untuk mengambil mobil yang saya titipkan pada adik saya. Setelah beristirahat dan makan malam, saya mengendarai mobil itu untuk pulang ke rumah. Tidak ada masalah apa-apa ketika menempuh rute Grogol, Cawang, Cibubur, Cileungsi, dan Jonggol.

Kecelakaan justru terjadi tatkala saya baru saja melewati pintu gerbang komplek perumahan tempat tinggal saya. Sekonyong-konyong sebuah sepeda motor yang dipacu dengan kecepatan lumayan kencang muncul di depan mobil saya. Segera saya rem. Tak ayal lagi, tabrakan tetap tak terelakkan.

Ajaran The Secret akan menilai saya telah berpikiran negatif sepanjang hari itu. Mungkin saya yang memang mengidap fobia ketinggian, telah membayangkan akan mengalami kecelakaan. Pikiran dan visualisasi itu, sesuai the law of attraction, telah membangkitkan energi yang menarik semesta yang mewujudkan terjadinya kecelakaan itu.

Benarkah asumsi itu? Salahkah asumsi itu?

Hari-hari selanjutnya pada bulan September, saya jalani seperti biasa. Saya pun melanjutkan tugas di Bina Graha untuk membantu Staf Khusus Presiden menerbitkan Tabloid Sambung Hati 9949. Setiap hari saya bolak-balik Jonggol-Jakarta selama berkantor di lingkungan Istana Kepresidenan dan tidak terjadi hal buruk apa pun.

Dua minggu berlalu. 15 September dinihari, kembali menjadi saat yang naas bagi saya. Lagi-lagi terjadi dalam perjalanan pulang dan tidak lama lagi akan tiba di komplek perumahan. Malang tak dapat ditolak, tiba-tiba sebuah mobil dari arah yang berlawanan, berpindah jalur dan dalam sekejap menghantam mobil saya. Anda bisa membayangkan apa yang terjadi pada saya dan mobil sedan saya yang ditabrak dari depan oleh sebuah mobil MPV.

Dinihari itu, jalanan sepi sekali dan tidak mungkin kami masing-masing berkecepatan hanya 30 km perjam. Namun, saya masih mengira bahwa pengendara mobil yang menabrak saya itu berpindah jalur karena akan menyalip mobil di depannya. Ternyata, setelah polisi datang, ia mengaku mengantuk dan baru sadar setelah tabrakan terjadi. Setelah pagi, ia dan keluarga datang ke rumah saya, mengaku salah, dan menyatakan akan menanggung semua biaya akibat kelalaiannya.

Walaupun saya juga mengalami kerugian immaterial dalam musibah ini, namun saya masih mengalami kebaikan dan keberuntungan. Pertama, kecelakaan itu meskipun membahayakan jiwa dan menyakiti tubuh, tetapi tidak sampai mengundang maut ataupun cacat tetap. Kedua, mobil saya itu memang sudah waktunya untuk direnovasi, tetapi saya biarkan saja karena kurangnya dana.

Dengan adanya biaya kompensasi akibat tabrakan itu (Rp 25 juta!) untuk memperbaiki mobil saya, ternyata ada juga hal baik yang bisa didatangkan dari hal buruk ini. Mengapa bisa begitu? Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Roma 8:28. Begitulah, selama 25 tahun bertobat menjadi Kristen, saya senantiasa merasakan penyertaan Allah dalam hidup saya.

Dari fakta yang sama itu dan ayat Alkitab yang sama, bisa memunculkan minimal 2 pendapat yang berbeda. Tergantung persepsi dan teologi yang dianut orang yang bersangkutan.
Seorang teman di gereja berkata bahwa Allah bermaksud memberikan dana yang saya butuhkan untuk merenovasi mobil saya, tetapi saya harus mengalami kesusahan dahulu melalui kecelakaan itu. Kesusahan itu menjadi ujian karakter saya. Tatkala saya lulus ujian, barulah Tuhan mencurahkan berkat-Nya itu kepada saya. Mungkin teman saya itu penganut “teologi kesusahan”.

Teman saya yang lain berkata bahwa tidak mungkin Tuhan merancangkan kecelakaan karena Ia tidak ingin umat-Nya mengalami kesusahan. Tuhan selalu mendatangkan kesentosaan, yaitu kesejahteraan dan kesehatan. Kecelakaan itu terjadi karena dosa saya sendiri. Tetapi, Tuhan yang baik telah mengubah kecelakaan itu menjadi keberuntungan bagi saya. Mungkin teman saya yang ini menganut “teologi kesentosaan”.

Nah, bagaimana ajaran The Secret menilai peristiwa ini? Mungkin tidak jauh dari asumsi terhadap insiden pertama di atas. Jika demikian, maka asumsi itu salah besar karena telah mengabaikan keberadaan Pribadi yang lebih besar daripada semesta ini. Bagi seorang purpose driven christian, segala sesuatu adalah dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah.

“Ini bukan mengenai Anda.” Paragraf singkat ini ditulis oleh Rick Warren untuk mengawali bab 1 buku The Purpose Driven Life. Di paragraf berikutnya, Rick menulis bahwa jika Anda ingin tahu mengapa Anda ditempatkan di planet ini, Anda harus memulainya dengan Allah, Anda dilahirkan oleh tujuan-Nya dan untuk tujuan-Nya. Bab pertama itu sendiri berjudul “Semuanya Diawali dengan Allah.”

Sebaliknya dengan ajaran The Secret: “Meminta apa yang Anda inginkan kepada Semesta adalah kesempatan untuk membuat jelas bagi diri sendiri mengenai apa yang Anda inginkan. Ketika permintaan itu menjadi jelas di benak Anda, Anda sudah memintanya. Semesta tidak membutuhkan waktu untuk mewujudkan apa yang Anda inginkan.”

Jelaslah bahwa The Secret mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah dari Anda, oleh Anda, untuk Anda. Simaklah pernyataan berikut ini: “Semesta muncul dari pikiran. Kita mencipta bukan saja tujuan hidup kita, tetapi juga Semesta.”

Selanjutnya, mungkin Anda bertanya, “Apakah semua ajaran The Secret itu bertentangan dengan teologi Kristen? Bukankah The Secret juga mendukung dan melandaskan ajarannya pada Alkitab? Benarkah guru-guru The Secret terhisab dalam New Age Movement?”
Nah, saya ingin mengajak rekan-rekan berdiskusi menyikapi ajaran The Secret secara proporsional. Mengapa harus proporsional? Mengapa tidak kita labrak habis saja komplotan New Age Movement itu? Saya punya pengalaman menarik mengenai penilaian terhadap guru New Age Movement.

Tiga belas tahun yang lalu, seorang staf saya memuat resensi buku Chicken Soup for the Soul di warta gereja kami. Pada saat yang bersamaan, sebuah majalah Kristen dari Amerika Serikat melaporkan sosok Jack Canfield sebagai penganjur New Age Movement. Jack Canfield adalah penyusun Chicken Soup yang fenomenal itu. Sebagai manajer publikasi di gereja kami, sontak saya mendapat teguran keras dalam rapat kepemimpinan.

Lalu, kami menyampaikan ralat dan permohonan maaf di warta gereja edisi berikutnya. Namun, apa yang terjadi bertahun-tahun kemudian? Terbitlah buku Chicken Soup for the CHRISTIAN Soul, dan Jack Canfield masih sebagai penyusunnya. Buku itu dijual di toko buku gereja kami dan toko-toko buku Kristen lain. Isinya pun sering dikutip sebagai ilustrasi oleh banyak pengkhotbah Kristen! Nah, Jack Canfield yang sama adalah salah satu guru The Secret.

Nah, apa pendapat Anda?

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Thursday, October 4, 2007

Umpan Ampuh untuk Mengail Ide

Oleh Purnawan Kristanto

Bagi penulis, “ide” adalah makhluk yang menggemaskan. Kedatangannya tak dapat dijadwal tepat waktu, mirip sekali dengan pelayanan kereta api di Indonesia. Ketika kita sangat membutuhkan, dia malah jual mahal, bersembunyi entah dimana. Ketika kita sedang tidak siap menulis, dia malah menari-nari menggoda otak kita.

Namun tidak usah khawatir. Anda sebenarnya dapat memasang umpan yang jitu untuk mengail ide pada saat membutuhkannya. Anda memiliki tiga jenis umpan, yaitu umpan ingatan, umpan pengamatan dan umpan riset.

Tulisan yang lebih lengkap dan tips praktisnya dapat dibaca di blog saya: http://purnawan-kristanto.blogspot.com/

1. Ingatan
Theodore Roosevelt berkata, “Do what you can, with what you have, where you are.” Kita dapat memulai mendapatkan bahan cerita dari apa yang sudah kita miliki saat ini, yaitu ingatan atau memori.

a. Kode Kata
Salah satu kunci untuk membuka peti ingatan kita adalah dengan kode kata. Cara yang dipakai adalah memilih kata kunci dari tema cerita atau premise yang sudah ditentukan. Kata ini dipakai sebagai pijakan awal yang akan menuntun kita untuk menemukan satu tema cerita yang spesifik. Setiap kata akan memicu Anda untuk memikirkan beberapa pengalaman. Ketika Anda mengingat kembali satu pengalaman, hal itu akan mendorong Anda untuk menghubungkannya dengan pengalaman lain yang mungkin terlupakan.

b. Curah Gagasan (Brainstorming)
Metode ini merupakan pengembangan dari metode kode kata. Berawal dari sebuah kata, kita menuliskan semua ide yang berkaitan dengan kata tersebut. Anda tidak perlu memusingkan urut-urutannya, alur logika atau ejaan tulisan.

Ketika semua ide sudah dituangkan, selanjutnya bacalah daftar ide Anda. Apakah Anda dapat menarik sebuah benang merah di antara daftar itu? Apakah ada ide yang perlu dibuang? Apakah ada kaitan diantara ide tersebut?.

c. Menulis Bebas
Metode ini hampir mirip dengan melamun. Caranya diawali dengan suatu kata tertentu, Anda menulis secara bebas. Tidak harus berkaitan dengan kata kunci tertentu (inilah perbedaan dengan curah gagasan). Tujuan utamanya adalah menulis kalimat sebanyak-banyaknya dalam waktu tertentu (5-10 menit) tanpa berhenti. Anda tidak perlu merisaukan arah tulisan tersebut dan ketepatan ejaan. Tulis saja dengan bebas.

Jika dirasa sudah cukup, maka baca kembali hasil tulisan bebas tersebut. Temukanlah ide-ide menarik yang dapat dikembangkan. Dari tulisan di atas, kita dapat mengembangkan cerita tentang menyambut kedatangan Yesus.

d. Pemetaan Pikiran
Pemetaan pikiran (mind mapping) adalah sistem perekaman pikiran supaya kita biasa menggunakan otak kiri maupun otak kanan dengan baik. Seluruh bagian otak digunakan untuk berpikir. Untuk melakukan ini, kita dapat menggunakan kata-kata kunci, lambang, dan warna. Mind mapping memungkinkan kita membangkitkan dan mengatur pikiran-pikiran pada waktu yang sama.

2. Pengamatan
Meskipun ingatan dapat menjadi sumber cerita yang kaya, tetapi Anda tidak semua hal masuk ke dalam ingatan Anda. Contohnya, kalau Anda dibesarkan di gunung, Anda mungkin tidak punya kenangan atas kehidupan di laut. Kalau Anda lahir dan besar di kota, Anda mungkin tidak memiliki kenangan atau pengalaman sebagai penggembala. Untuk itu, Anda dapat memakai teknik pengamatan atau observasi.

Di dalam kemiliteran sebelum menyerbu sebuah kota, sang perwira biasanya mengirimkan unit mata-mata untuk menyusup ke sasaran serbu. Tugas mereka adalah mengamati situasi di dalam kota dan mengumpulkan informasi intelijen sebanyak-banyaknya. Misalnya mencatat keadaan jalan, pembangkit listrik, instalasi militer, sarana komunikasi, jumlah penduduk dll.

Mirip dengan agen spionase, dalam metode ini Anda mendatangi sebuah tempat dan mencatat apa saja yang menonjol dan berkesan bagi Anda.


3. Riset
Ada pepatah mengatakan, “Learn from other people's mistakes, life isn't long enough to make them all yourself.” Meski kelihatannya bercanda, tapi ada kebenaran indah di dalam kebenaran ini. Kita harus belajar dari orang lain. Tidak hanya dari kesalahan mereka saja, tetapi juga dari keberhasilan mereka.
Dengan belajar dari orang lain, kita bisa menghemat waktu, biaya dan sumberdaya lainnya. Sebagai contoh, Anda mungkin belum pernah melihat padang rumput di Israel karena untuk pergi ke sana membutuhkan ongkos besar. Hal ini dapat disiasati dengan riset, yaitu meminta informasi dari orang lain.

Tulisan yang lebih lengkap dan tips praktisnya dapat dibaca di blog saya: http://purnawan-kristanto.blogspot.com/

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Wednesday, October 3, 2007

The Law of Abraham (The Secret?)

Oleh Sansulung Johannes El Darsum

Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita dalam Roh Kudus. (Roma 14:17)

Anda ingin menjadi berkat bagi masyarakat, kota dan bangsa kita? Patutlah bagi Anda untuk menengok kecenderungan pergeseran paradigma di marketplace, karena Anda memiliki peluang terbesar untuk meresponi kebutuhan bangsa yang sangat penting dan mendesak saat ini, seperti yang mengemuka dalam berbagai seminar nasional. Inilah saatnya bagi Anda untuk berperan menghadirkan nilai-nilai Kerajaan Allah di marketplace.

Disinyalir, banyak orang mengalami suatu sindrom yang membuat mereka tidak cekatan lagi dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan berbagai pola yang berubah sangat cepat. Orang yang memiliki gejala tersebut berbuat banyak kesalahan dalam menyusun urutan... pikiran yang rasional, dan sulit membawa diri dalam kehidupan sehari-hari. Sindrom diseksekutif ini telah lama terlihat dalam masyarakat Indonesia sehingga turut menyebabkan terjadinya kemelut besar bangsa kita.

Semestinya, kita mengintegrasikan head (pikiran/nalar) dan heart (nurani/moral). Keduanya mesti terorganisir dan terbangun sedemikian rupa agar terintegrasi dengan baik. Jika nurani adalah “singgasana” Tuhan Yang Berdaulat, maka pikiran adalah “meja kerja” tuan sang eksekutif. Visi dari pikiran harus mengakar secara mendalam pada misi dari nurani, agar sindrom diseksekutif tidak tetap bercokol dan berkembang lebih luas. Atau dalam bahasa George Barna, misi mendahului visi.

Sejatinya, hal itu adalah pekerjaan yang sudah menjadi “makanan sehari-hari” kita (bdgkan Yohanes 4:32-36). Segala pemikiran visi kita diselaraskan dalam misi melakukan kehendak Bapa. Lagipula, sebagai garam dan terang dunia, bisnis kita seyogyanya memiliki misi yang menggarami dan visi yang menerangi masyarakat, kota dan bangsa kita (bdgkan Markus 9:49-50). Kita ingin meneladani Abraham yang diberkati Allah untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa.

Sebagai mantan nomaden yang beralih bertani, Abraham merupakan orang pertama, yang disebutkan dalam Alkitab, yang menganggap kapling tanah adalah properti milik pribadi yang dapat diperjualbelikan. Pembahasan yang dilakukan oleh Abraham dengan Efron tentang harga, penjelasan, serta pengumuman pergantian kepemilikan mengandung unsur-unsur dasar kontrak penjualan properti zaman sekarang (bdgkan Kejadian 23:10-20). Sejak kejatuhan komunisme, “hukum” Abraham berlaku di hampir semua negara.

Para pelaku bisnis tradisional sejak beberapa abad lalu memperlakukan sumber daya yang terbatas –hanya menghabiskan tanpa mengolah—seperti orang nomad dengan mentalitas kelangkaan. Itulah sebabnya kebanyakan orang berpandangan bahwa bisnis itu kotor. Dalam paradigma kelangkaan, “kue” ekonomi itu sangat terbatas, sehingga mesti berkompetisi untuk memperoleh bagian keuntungan dengan merugikan orang lain.

Sebaliknya, pelaku bisnis apostolik tidak percaya bahwa Tuhan menciptakan dunia dengan hukum ekonomi di mana keuntungan seseorang mesti merugikan orang lain. Namun, pebisnis apostolik percaya bahwa Tuhan memberikan seperangkat alat, berupa talenta, karunia, dan potensi untuk tidak sekadar menghabiskan sumber daya tersedia, namun lebih berfokus mengolahnya dalam mentalitas kelimpahan (bdgkan Yohanes 10:10).

Paradigma mentalitas kelimpahan percaya bahwa banyak kue keuntungan yang besarnya tak terbatas. Dan, jumlahnya tak terbatas sehingga selalu cukup untuk diperoleh semua orang yang populasi dan kebutuhannya terus meningkat. Mengapa bisa begitu? Karena produktivitas properti intelektual meningkat semakin cepat.

Konsep kepemilikan properti intelektual, sebagaimana hukum Abraham, merupakan landasan perekonomian teknologi modern kita. Kemajuan teknologi terkini telah mengolah dan “menciptakan” lebih banyak sumber daya dan berbagai bisnis kategori baru yang tak terbayangkan pada beberapa dasawarsa lalu.

Pemikiran yang mempertentangkan antara hati nurani dan bisnis telah usang ketinggalan zaman. Paul Zane Pilzer, penulis Unlimited Wealth yang juga pernah menjadi Wakil Presiden termuda Citibank, mengakui bahwa tangan Tuhan memastikan apa yang benar secara moral, kelak dapat membuat setiap orang menikmati kue ekonomi.

Dulu, boleh saja pelaku bisnis dan orang saleh dianggap saling berseberangan. Para pebisnis umumnya menganggap bisnisnya tidak akan maju kalau mengikuti nurani, moral, dan agama. Mereka menyadari cara berbisnis mereka yang tercela sehingga malu kalau berurusan dengan soal-soal agama. Sementara itu, kebanyakan orang saleh tidak mau berbisnis karena menganggap bisnis itu kotor dan akan mengotori nuraninya.

Dalam sebuah seminar yang diadakan oleh sebuah gereja di Kelapa Gading, Hermawan Kartajaya sempat menyinggung gerak perkembangan hubungan dunia bisnis dan kerohanian. Salah seorang pakar pemasaran terbaik di Asia ini membaginya dalam tiga era. Era pertama disebutnya era polarisasi, karena pelaku bisnis dan orang saleh (rohani) bersikap seperti di atas.
Era kedua adalah era balansi dengan pebisnis model Robinhood. Pada era itu, kebanyakan pebisnis sudah tidak malu-malu lagi dengan stigma kotornya bisnis dan terseret ke dalamnya. Lalu, mereka mengimbanginya dengan menjadi pahlawan seperti Robinhood, jika memberi sumbangan dari hasil bisnis yang curang atau korupsi, misalnya. Hasil korupsi pun mereka bagi-bagi, atau melakukan korupsi secara teamwork, sehingga muncullah istilah “korupsi berjamaah”, yang semakin sulit diberantas.

Nah, era saat ini adalah era integrasi antara bisnis dan kerohanian. Berbisnis bukan hanya harus putar otak, tetapi juga harus berlandaskan dan menyelami hati nurani. Dan, ternyata semakin orang menyadari hal ini, semakin terlihat bahwa bisnis tidak serta merta memiliki hakikat yang kotor. Bisnis juga spiritual. Bisnis bisa rohani. Bahkan, ada yang bilang bahwa bisnis itu sendiri adalah ibadah.

Semakin banyak bisnis, atau lebih tepatnya pelaku bisnis, yang berbalik kepada dimensi kerohanian sebagai fondasi dalam memandang keunggulan. Dua konsultan Gay Hendricks dan Kate Ludeman melakukan survei terhadap ratusan perusahaan sukses di Amerika Serikat. Hasilnya, memperlihatkan bahwa aspek etikal manajemen telah berkembang lebih jauh kepada semacam spiritualisasi manajemen.

Hampir semua pengusaha dan eksekutif perusahaan sukses yang diteliti oleh Gay dan Kate memiliki sifat-sifat yang biasanya dimiliki oleh orang-orang suci. Secara lugas, mereka seolah ingin mengatakan bahwa di era globalisasi ini, orang suci tidak hanya dapat ditemukan di rumah-rumah ibadah saja, tetapi Anda juga bisa menemukannya dalam diri pimpinan perusahaan-perusahaan besar atau organisasi-organisasi modern.

Sifat-sifat yang merupakan warisan peradaban luhur itu bergaung dalam ruang-ruang kehidupan di milenium ini. Untuk mendorong manusia kepada sasaran yang lebih pantas. Untuk meraih bentuk keunggulan yang berkelanjutan dalam jangka panjang, yang oleh Tom Morris disebut keunggulan kolaboratif. Menurut narasumber populer bidang bisnis di Amerika Serikat ini, untuk mencapai puncak keunggulan manusia, kita harus dijiwai oleh semangat kolaboratif.

Tom memaparkan tiga model keunggulan. Model yang paling dominan selama ini adalah keunggulan kompetitif. Model ini merupakan warisan pemikiran Barat. Untuk mendapatkan keunggulan dalam suatu kegiatan, seseorang harus mengalahkan orang lain yang menentangnya. Segala upaya dilakukan untuk memenangkan permainan zero-sum. Problem model keunggulan kompetitif terletak pada sifatnya yang individualistis dan memusuhi, yang merusak pranata masyarakat.

Model lainnya berakar dari kebijaksanaan Timur yang disebut keunggulan komparatif. Setiap orang mencapai keunggulan tanpa harus bersaing dengan orang lain, tetapi membandingkan keadaan dirinya sendiri dalam suatu rentang waktu. Dibanding kemarin, apakah hari ini dia sudah lebih dekat kepada sasarannya? Bagaimana caranya agar dia dapat semakin dekat kepada sasarannya? Problem model ini terletak pada kecenderungan eksklusif untuk memikirkan diri sendiri, tidak pernah menggali kepentingan yang lebih besar.

Model alternatif yang ditawarkan oleh Tom Morris adalah keunggulan kolaboratif, yang fokusnya meretas batas-batas individu. Model ini membuang kelemahan dari kedua model sebelumnya, namun tidak menuntut ditinggalkannya hal-hal baik dari cara berpikir kompetitif dan komparatif. Cara berpikir dan kerja kolaboratif yang baik bergantung pada panduan dari cara berpikir kompetitif dan komparatif, namun yang menjadi sumbu roda adalah kerja kolaboratif untuk mencapai hasil yang lebih baik.

Contoh paling gamblang adalah kontes Indonesian Idol, Akademi Fantasi Indosiar, dan yang semacamnya. Ketika memasuki babak final, model keunggulan kolaboratif terlihat amat jelas. Dua orang finalis tidak saling berkompetisi, karena kemenangan salah satunya tidak bergantung kepada kehebatan mereka untuk saling mengalahkan. Masing-masing finalis juga tidak hanya sibuk meningkatkan keunggulan komparatif masing-masing. Agar mendapatkan semakin banyak perhatian audiens, mereka justru berkolaborasi untuk menampilkan performa terbaik mereka, sebagai tim!

Dalam situasi begini, jarang sekali fans mereka yang mengalihkan dukungan. Mereka sudah mempunyai pendukung fanatik sendiri-sendiri. Yang terjadi malah fans mereka yang saling berkompetisi dan berulang-ulang mengirimkan sms dukungan. Sementara itu, dengan kolaborasi kedua finalis juga secara bersama-sama menyedot pendukung baru. Sehingga, total pendukung mereka semakin membengkak, yang pada akhirnya akan membeli album yang telah maupun akan mereka telurkan. Kekuatan sinergis, dalam bentuk apapun, seperti dalam model keunggulan kolaboratif ini, selalu dahsyat dampaknya. Betapa.

Hubungan kolaboratif dapat dikembangkan dengan berkomunitas, dalam interaksi sinergis. Motivasi kolaboratif didasarkan atas misi dan visi yang dipahami dan dikembangkan bersama. Kolaborasi perlu dipandu dengan pemahaman tentang kebutuhan untuk bertumbuh. Adalah tugas para pemimpinnya untuk membentuk pemahaman ini bagi komunitas yang terbentuk.

Dalam sebuah komunitas sejati yang berkelimpahan, setiap anggota mendorong partnernya untuk menjadi yang terbaik menurut kemampuannya. Sebuah komunitas kolaboratif tidak ingin saling mengecewakan dan masing-masing bersedia saling membantu dalam keadaan senang atau susah. Hasilnya adalah damai sejahtera dan sukacita berdasarkan kebenaran dalam Roh Kudus.

Diadaptasi dari buku “Awaking The Excellent Habit”(Sansulung John Sum, Gradien Books).

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.