Dunia Belum Berakhir
Oleh Sansulung Johannes El Darsum
DUNIA dan perang seakan sepasang sumpit.
Itulah yang muncul menjadi kesan setiap insan yang mengenyam udara awal milenium ini. Bumi ini dilahirkan dari Kasih. Juga oleh, dengan, dan bagi Kasih. Walau begitu, hantu perang selalu setia menemaninya.
Ya, perang. Perang!
Will dan Ariel Durant (The Lessons of History, 1968) menyatakan bahwa sejak manusia bisa mencatat sejarah, yaitu lebih dari 3 milenium, ternyata hanya kurang dari 300 tahun yang bisa dinyatakan bebas konflik atau perang. Itu berarti lebih dari 90% riwayat hidup manusia, yang tercatat oleh sejarah, diwarnai oleh konflik dan peperangan.
Megatragedi Perang Dunia I dan Perang Dunia II telah menjadi noktah dekil dalam... catatan sejarah. Para pihak pemenang tragedi global terakhir itu pun kemudian terbagi menjadi dua kubu yang saling berhadapan dalam perang dingin. Kubu lainnya berjenis “nonblok” menyusul lahir, Gerakan Non-Blok. Kemudian, Blok Timur tak dapat bertahan. Diruntuhkannya Tembok Berlin menyimboli bangkrutnya sistem yang dicoba dibangun berdasarkan komunisme.
Perang dingin berakhir. Melangkah ke milenium ketiga, bangsa-bangsa mulai optimis akan masa depan dunia ini. Di kawasan Timur Tengah pun, saat itu, terbetik harapan rujuknya Israel dengan Palestina. Ada harapan akan tatanan dunia yang baru. Abad ke-20 yang dua kali mengobarkan api bencana global itu ternyata sanggup mengakhiri milenium kedua dengan “selamat”.
Di Indonesia pun, dada anak pertiwi bisa mulai bernafas lebih lega saat itu. Dipercayakannya tampuk pemerintahan kepada sosok yang dikehendaki rakyat secara demokratis, menimbulkan rasa keniscayaan untuk keluar dari krisis. Ada cinta dengan apa saja yang ikhlas diberikan, ada cita dengan semangat gotong royong untuk meraihnya.
:: SUVENIR MILENIUM BARU
Sedang giat-giatnya menggalang kebersamaan untuk memulihkan Asia dari stroke resesi ekonomi, sontak planet ini mendapat kejutan. Surprise…! Bukan sebuah hadiah yang dipersiapkan secara diam-diam oleh para sahabat, kerabat, dan kekasih untuk merayakan sebuah momen istimewa. Tetapi, sebuah tanda mata milenium ketiga dengan tanda tangan yang di-teken di ground zero di negaranya bung superman itu. Segenap penjuru kampung global terpana-na.
Olala. Si kembar ikon arogansi niaga globalisasi itu rebah ke bumi. Segilima posko satgas tempur nomor wahid sejagat pun tersruduk oleh salah satu dari 4 pesawat yang berhasil ditunggangi pembajak. Lebih dari 3.000 jiwa dikubur hidup-hidup dalam puing-puing WTC. Para panglima Pentagon tentu merah padam hatinya, bukan cuma naik tensi dan naik pitam tetapi juga malu tiada kepalang.
Dengan lihai, desainer serangan tersebut memainkan emosi bangsa superior tersebut. Tanggal September 11th, bisa ditulis 911 dalam kebiasaan beberapa negara. Sementara itu, bilangan 3 angka itu merupakan nomor telepon bagi masyarakatnya tatkala membutuhkan bantuan polisi, misalnya ketika ada ancaman penjahat. Kode 911, yang sangat akrab dalam keseharian mereka, kini menjadi memori trauma mahahebat.
Banyak yang menitikkan airmata atas jatuhnya korban ribuan jiwa. Banyak juga yang mengejek tidak berdayanya syarikat “adidaya” itu. Banyak juga yang menyoraki ide brilyan yang brutal itu. Banyak juga yang melaknati perancang serangan itu. Banyak juga yang mendoakan pahala bagi para pelakunya. Banyak juga yang menggugat ketidaksigapan aparatur pelindung bangsanya. Banyak juga yang menahan geraman yang siap disalakkan.
Ada juga yang menyebut megatragedi inovasi awal milenium ketiga itu sebagai awal Perang Dunia Ketiga! Namun, siapakah musuh yang harus diserang balas? Sampai saat ini bukti yang cakap masih sulit diungkap. Yang jelas, kemurkaan telah ditumpahkan kepada pihak yang memberi applause bagi tindakan biadab tersebut dan pihak yang berpotensi mendukung aksi sejenis.
Malu hati dan kalut otak telah membuat gelap mata. Karena merasa kedaulatan nation-state telah dirubuhkan oleh teror spektakuler itu, George W. Bush pun menganggap paradigma geopolitik yang dianut bangsa-bangsa sejak abad ke-16 itu sudah kuno dan tak relevan dalam menghadapi terorisme. Setelah rezim dukungan Al-Qaeda “dibersihkan” dari Afghanistan, giliran pun telah diputar ke arah Saddam Husein. Sang junior bertekad mengulangi sukses George Bush senior mengusir serdadu Saddam Husein dari Kuwait. Kali ini, penguasa Babylonia itu sendiri yang disuruh hengkang dari negerinya.
Saddam dituduh membangkangi resolusi PBB untuk melucuti semua senjata pemusnah masalnya, termasuk senjata biologi dan kimia yang digunakannya semasa Perang Teluk I. Persenjataan itu dianggap berpotensi digunakan oleh teroris. Alasan lainnya adalah bahwa rakyat negeri seribu satu malam itu memerlukan pembebasan dari diktator itu. Lagi-lagi, segenap penjuru kampung sejagat terpana-na-na. Lewat media dengar-pandang setiap saat, kehancuran dan korban jiwa dapat dilihati dan digerutui. Tayangan-tayangan kontak mata melalui Al-arabiya, Aljazeera, BBC, CCTP, dan CNN itu sungguh mengiris-iris sanubari kita. Dapatkah kekejian seperti ini dihentikan? Selama masih ada nafsu angkara, memang hal ini akan berulang terus.
Prof Arnold M Ludwig dari University of Kentucky, menelusuri ribuan kepala negara/pemerintahan seabad terakhir. Ludwig mengungkapkan betapa tingkah laku elite politik, yang disurvei, sangat ditentukan oleh naluri instinktif hewani untuk mendominasi secara psikis, seksual, dan egoisme.
Alois A. Nugroho dari Unika Atma Jaya (Kompas, 4/4’03) menulis: “Drama bellum omnium contra omnes bukan lagi sekadar the war of every man against man, tetapi lebih berupa the war of every civilization against civilization. Karena tidak ada ‘rasionalitas universal’, maka kompetisi klaim harus diselesaikan dengan kekuatan lain. Muncullah pemeo might is right, kekuatanlah yang akan menentukan siapa-siapa yang pantas disebut universal, yang dalam perkembangan sejarah lazim berhubungan dengan klaim kebenaran ‘final’ (Huntington/Ruslani, 2000:597).”
Semua itu, untuk memenuhi hasrat primitif pemimpin politik untuk saling menguasai. Tanpa peduli korban jiwa, efek keamanan dunia, maupun biaya yang diperlukan untuk penghancuran dan pembangunannya kembali nanti.
AS sendiri membutuhkan anggaran lebih dari lima ratus trilyun rupiah. Bagi mereka yang mengalami trauma mahahebat dengan kerugian moril dan materiil sangat besar, mungkin hal itu cukup masuk akal. Akibat serangan 911, selain ambruknya dua menara WTC, memang telah membangkrutkan beberapa perusahaan besar dan dilanjuti PHK besar-besaran. Lebih baik mencegah, itu logikanya. Dan, tentu ada hitung-hitungan tertentu jika mereka dapat bekerjasama dengan rezim baru dalam mengeksploitasi ladang minyak terbesar nomor dua di dunia itu.
:: WILAYAH PUSAT KONFLIK DUNIA
Christianto Wibisono dalam kolomnya di Suara Pembaruan, Wash’Wacth, menulis: “Gelombang terorisme berlatar belakang kebencian dengan isu Palestina itu mencapai puncak pada serangan megateror 11 September 2001 yang merupakan kegagalan imajinasi FBI/CIA. Tidak pernah terpikir bahwa ada manusia bisa begitu kejam, keji dan sadis membunuh sesama manusia tanpa sebab, tanpa konflik, tanpa salah dan tanpa alasan. Kecuali alasan tradisional bahwa AS membela Israel anti-Palestina, karena itu pantas dibantai secara kejam pada 11 September.”
Kawasan Timur Tengah memang pantas dijuluki thermometer bahkan barometer suhu dunia. Geliat konflik di kawasan ini semakin bergolak ketika negara Israel berdiri dengan dukungan dari Inggris dan AS. Perang di kawasan ini pun mengekspor ekses konflik dengan isu-isu keagamaan ke belahan dunia lain. Sebuah pemahaman keyakinan agama seringkali menjadi harga mati yang patut dibela sampai mati. Beberapa pemimpin bangsa Arab, yang sekuler sekalipun seperti Saddam Husein, pandai sekali memainkan hal ini.
Apalagi, memori kesumat Perang Salib (crusade) sulit dihapuskan dan kerap membumbui konflik-konflik masa kini. Melalui rekaman audio tape, Osama bin Laden menganjurkan jihad melawan The Crusaders. Perang Salib memang telah meninggalkan luka budaya terdalam bagi bangsa Arab dan Yahudi.
Sejak tahun 638 Masehi, Yerusalem telah direbut dan dikuasai oleh Khalif Omar. Walikota yang beragama Islam pun menunjukkan toleransi kepada seluruh warga, termasuk orang Kristen dan Yahudi. Namun, ketika Yerusalem jatuh ke tangan pasukan Perang Salib pada tahun 1099, terjadilah salah satu kesalahan besar gereja. Pasukan itu menghebohkan dunia dengan pengkhianatan mereka, dengan membantai warga Yerusalem yang mayoritas orang Arab. Mereka juga membakar sinagoge beserta orang-orang Yahudi yang bersembunyi di dalamnya. Tentara Perang Salib mengesahkan tindakan terhadap orang-orang Yahudi itu sebagai doktrin kompensasi karena orang-orang Yahudi telah membunuh Yesus di kayu salib. Saat gereja-gereja Protestan muncul, teologi beberapa denominasi juga melanjutkan penganiayaan ini. Akhirnya, memuncak pada masa Nazi Jerman.
Hati bangsa Yahudi memang sedemikian keras sehingga membuat mereka sulit dijangkau bagi Injil. Tetapi, janji-janji Allah yang ditujukan bagi Israel lahiriah tidak dapat digagalkan kembali tanpa meragukan integritas-Nya “Mengenai Injil mereka adalah seteru Allah oleh karena kamu, tetapi mengenai pilihan mereka adalah kekasih Allah oleh karena nenek moyang.” (Roma 11). Allah juga menepati janji-Nya untuk menyertai Ismael dan membuat keturunannya menjadi bangsa Arab yang besar saat ini. Beginilah Firman Allah kepada Abraham mengenai Hagar, istrinya, “Tetapi keturunan dari hambamu itu juga akan Kubuat menjadi suatu bangsa, karena iapun anakmu.” Allah juga berfirman Hagar mengenai Ismael, anak Abraham, “Bangunlah, angkatlah anak itu, dan bimbinglah dia, sebab Aku akan membuat dia menjadi bangsa yang besar.” (Kejadian 21).
Menurut Rick Joyner dari MorningStar Ministries, pasukan Perang Salib telah menabur berbagai kekuatan, filsafat, dan teologi yang paling jahat ke dalam dunia. Buahnya adalah timbulnya kebencian turun temurun sehingga jutaan orang terpisah dari Injil. Orang-orang Kristen harus bertobat dari dosa-dosa mereka terhadap orang-orang Islam dan Yahudi. Paus Yohanes Paulus II tampaknya telah menyatakan kebenaran ini dengan semangat dan kerendahan hati yang besar sehingga seluruh dunia perlu memperhatikannya.
Dengan mengidentifikasi dan bertobat dari dosa bapa-bapa kita itu, kita akan menerima kelepasan dari dosa generasi itu sehingga tidak mengulanginya. Bukan dengan mengritiknya, karena kritik itu sebenarnya justru memastikan bahwa kita juga akan jatuh. Tetapi dengan menganggap dosa-dosa itu sebagai masalah kita, bukan hanya masalah mereka. Ya, kita harus bertobat dari masalah kita bersama itu dan mencari kasih karunia Tuhan.
Kita bersyukur bahwa terhadap agresi ke Irak oleh AS, cukup signifikan jumlah kelompok gereja di seluruh dunia yang angkat suara dan angkat tangan untuk menentangnya. Di Indonesia pun, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia bergabung bersama pemimpin agama lainnya dalam Gerakan Moral Nasional dan telah mencoba mencegahnya sebelum invasi dilancarkan. Mereka juga berangkat ke Vatikan untuk menyatakan dukungan kepada Paus yang secara tegas menentang serangan tersebut.
:: PEPERANGAN PROFETIK
Iman Kristen menempatkan gereja dalam posisi yang mulia, sebagai penjaga gawang standar moralitas. Tatkala mengakui kesalahannya, gereja belajar untuk rendah hati dan menjadi teladan untuk mengatakan yang salah adalah salah dan yang benar adalah benar. Keterbukaan ini juga penting agar tidak lagi menghambat terjadinya kebangunan rohani.
Keterbukaan ini akan menjadi sarana pembelajaran bagi kita untuk kembali kepada kuasa profetik kita, bukannya mengandalkan kekuatan politik dan militer. Karena, peperangan kita adalah peperangan profetik. Peperangan politik dan militer mengakibatkan kematian. Sedangkan, peperangan profetik akan membuahkan kebangunan rohani.
Sesungguhnya Tuhan Yesus telah memberikan kita kuasa profetik itu “untuk menginjak ular dan kalajengking, dan untuk menahan kekuatan musuh.” Musuh bersama kita saat ini sedang menyemai bibit penyakit jasmani (AIDS, SARS, dll), penyakit jiwani, dan penyakit rohani dalam waktu bersamaan.
Billy Graham (Damai Dengan Allah, YBK/OMF), mengutip Profesor Sorokin, mengatakan, “Kita hidup di tengah-tengah salah satu dari krisis-krisis yang terbesar dalam sejarah manusia. Bukan saja peperangan, bencana kelaparan, penyakit dan revolusi, tetapi banyak lagi bencana-bencana lain merajalela di seluruh dunia. Segala nilai dan norma hidup menjadi tidak menentu dan rusak. Krisis memasuki bidang-bidang sosial, ekonomi, politik, dan seluruh cara hidup dan pola pikir. Melihat semua itu, persangkaan kita cukup beralasan bahwa akibat-akibat yang dahsyat akan menimpa kita secara besar-besaran dalam zaman kita ini.”
Apakah kiamat di zaman akhir ini segera tiba? Apakah Tuhan Yesus segera datang besok, bulan depan, atau tahun depan? Kita tidak tahu persisnya. Yang pasti, saat ini dunia belum berakhir. Dan, selama itu pula, peperangan kita belum berakhir. Di dalam peperangan yang bukan melawan darah dan daging ini, kita akan menjadi kuat di dalam Dia dengan mengenakan kuasa profetik yang dilimpahkannya (Efesus 6:10).
Kita masih menantikan datang kembalinya kebangunan rohani yang lebih besar dibandingkan yang terjadi di masa lalu. Anak-anak Tuhan semakin bertumbuh dewasa serupa Kristus. Gereja yang dewasa akan bersatu dalam ikatan kasih. Kerajaan Allah akan datang dalam kuasa Roh Kudus, bukan dengan kekuatan militer. Kehendak-Nya akan ditegakkan dalam hukum kasih, bukan oleh hukum rimba (might is right).