Sunday, June 24, 2007

Boneka Rusia


Pernah melihat Boneka Rusia?

Boneka ini terdiri dari satu boneka besar yang di dalamnya terdiri dari boneka yang lebih kecil. Di dalam boneka yang lebih kecil ini, terdapat boneka yang lebih kecil lagi. Demikian seterusnya, sampai pada boneka terakhir, yang tak mungkin "beranak" lagi.

Dulunya saya tak pernah memerhatikan boneka ini, sampai pada suatu hari seorang senior saya... bercerita tentang leadership dengan menggunakan satu set boneka Rusia untuk ilustrasi.

Kata beliau, boneka Rusia adalah gambaran yang baik untuk menunjukkan masalah terkait successor. Banyak pemimpin kurang legowo dalam menurunkan kecakapan kepemimpinannya kepada yuniornya, sehingga yuniornya tidak dapat bertumbuh dengan maksimal. Yuniornya tidak bisa bertumbuh lebih "hebat" darinya, bahkan menyamai dirinya pun tak mampu. Demikian pula yunior ini, juga belajar berhemat dalam menurunkan kepandaiannya kepada orang di bawahnya yang lebih yunior dari dirinya. Akibatnya, yunior kedua ini bertumbuh kerdil dibandingkan dirinya, apalagi jika dibandingkan dua generasi di atasnya. Demikianlah, rantai ini terus bertambah panjang.

Pertanyaannya:
1. Apa yang terjadi jika fenomena ini terus berlangsung berkesinambungan, tanpa ada yang terbeban untuk "memotong"-nya?
2. Mengapa fenomena seperti ini sering terjadi di sekeliling kita?
3. Apakah diri kita sendiri terlibat dalam fenomena boneka Rusia ini? Atau bahkan menjadi pelaku utamanya?

Saya rasa untuk pertanyaan nomor 1 dan 2, kita semua secara umum tahu jawabannya. Namun untuk pertanyaan ke 3, hanya kita sendiri yang paling tahu jawabannya!

martha pratana
24 juni 2007

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Saturday, June 16, 2007

Pianis Nan Piawai

Oleh Sansulung Johannes El Darsum
Mungkin para pembaca sudah pernah membaca atau mendengar kisah yang mirip cerita di bawah ini. Namun, perhatikan akhir cerita saya ini sangat berbeda 180 derajat! Silakan disimak.
::
Ruang tamu telah dipenuhi para undangan. Pesta kecil, yang diadakan dalam rangka syukuran rumah baru seorang pianis tenar, itu cukup semarak. Tiba-tiba terdengar... bunyi tuts piano ditekan. Tak beraturan, bising, dan merusak suasana. Tentu saja bukan sang pianis yang tengah beraksi. Tetapi, ada anak kecil tiga tahunan yang penasaran dengan piano baru di ruang tamu tersebut. Perlahan, sang pianis menghampiri anak itu dan duduk mendampinginya. Dengan kepiawaiannya yang sohor, sang pianis mengimbangi dan mengisi kelemahan permainan balita itu, sehingga menciptakan suatu komposisi yang sangat indah.
::
Empat menit berlalu. Para tamu terkesima dan memberikan applause panjang di akhir duet dadakan itu. Mereka memuji kepiawaian sang pianis menempel rusaknya permainan si balita. Tapi, dasar anak kecil, ia mengira dirinya hebat dan para tamu juga bertepuk tangannya untuknya. Ia tertawa lebar menunjukkan rasa bangganya, dan lantas mengundang celetukan nyinyir dari beberapa tamu, seperti, “Nakal!”, “Norak!”, “Sok!”, “Sombong!”, “Ge-er,” atau “Tak tahu diri.” Tetapi, sikap berbeda diperlihatkan oleh sang pianis. Dengan bangga, sang pianis memperkenalkan anaknya itu. Ia memuji minat dan rasa pede puterinya itu. Sang pianis sangat piawai dalam mengenali potensi sang anak. Ia tidak melihat masalah, ia melihat peluang. Tentu saja, dia kan ayahnya. Ya! Itulah hati seorang bapa.

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.