Friday, September 18, 2009

Substansi dan Praktik Ibadah yang Segar

Oleh Sansulung John Sum

DENGAN cekatan, Indra menyendok kuah sup yang masih hangat tersebut dan menyeruputnya. Terasa lezat di lidah. Lagi. Ia menyendok kuah beserta sayurnya. Tiba-tiba, ia bergeming sejenak.

“Tadi gua udah berdoa apa belum ya?”

Pertanyaan itu menggelayut di benaknya dan mengganggu sanubarinya. Indra lupa. Bukan lupa berdoa. Tapi, lupa bahwa ia sebenarnya sudah berdoa sebelumnya. Sudah berdoa koq lupa, hehe.. Beberapa orang mungkin akan menghakimi, “Wah, pasti berdoanya gak dari hati tuh.”

Namun, jujur saja, kita pasti akrab dengan kejadian seperti yang dialami oleh Indra itu, bukan? Saya pernah mengalaminya. Siapa yang mau mengaku juga? Anda? Saya berani memastikan bahwa hampir semua dari kita pernah mengalaminya.

Pada tahun 2001, saya mengerjakan proofreading untuk buku Kebapaan & Pemuridan: Karakter yang Utama yang diterbitkan oleh Metanoia. Buku berjudul asli Dadship and Discipleship ini karya David E. Schroeder, pendiri MasterWorks yang membantu para murid di gereja-gereja lokal. Kami meminta Jonathan Pattiasina, Eddy Leo, dan Samiton Pangellah untuk memberikan endorsement bagi buku ini sebelum diterbitkan.

Dalam buku tersebut, David menceritakan pengalamannya ketika mengunjungi keluarga Ken yang baru saja mulai datang ke gereja yang digembalakannya. Ken berlatar belakang Yahudi dan baru menjadi Kristen.

Pada malam David mengunjungi mereka, Ken dan Nancy baru saja pulang dari toko bahan makanan. Setelah menaruh semua belanjaan ke atas meja, Ken menengok ke arah David dan berkata, “Pak, maukah Anda bersama-sama kami bersyukur kepada Tuhan atas makanan ini?”

Kemudian Ken mulai menaikkan doa syukur atas makanan itu. David merasakan doanya sangat indah. Sebuah doa yang mengalir dari hati yang penuh penyerahan.

Di kemudian hari, David bertanya kepada Nancy tentang kebiasaan yang tidak lazim itu. Nancy menuturkan bahwa mereka tidak berdoa setiap kali mau makan, tetapi selalu ketika mereka membeli bahan-bahan makanan. Ini semata-mata gagasan Ken yang menganggapnya sebagai kesempatan terbaik untuk mengungkapkan syukur kepada Tuhan.

Kisah tersebut telah mengubah paradigma saya tentang “aturan” berdoa sebelum makan.

Beberapa hari yang lalu, saya makan siang bersama seorang teman. Pada suapan pertama, teman saya itu tiba-tiba bilang, “Wah lupa berdoa nih gara-gara lapar banget.” Saya pun menyahut, “Gak apa-apa. Saya juga berdoanya tidak selalu sebelum makan. Tetapi, saya membiasakan diri beryukur atas setiap suapan yang saya makan.”

Dalam hati, saya beryukur, “Terima kasih Tuhan atas sayur ini yang mengandung vitamin A”, ketika saya mengunyah sayur tersebut. Lalu, “Terima kasih Tuhan atas ayam yang enak ini” ketika saya mengunyah potongan ayam goreng tersebut. Seperti itulah.

Mungkin ada orang yang pernah melihat saya tidak berdoa sebelum makan dan heran atas hal itu. Karena itu, kadang-kadang saya juga berdoa sebelum makan supaya tidak menjadi syak bagi orang yang tidak mengerti kebiasaan saya tersebut.

Jika kita memahami substansi praktiknya, maka kita tidak lagi terpaku pada aturan-aturan tertentu yang terkadang malah kehilangan substansinya itu sendiri. Kebebasan untuk melakukan praktik rohani yang murni dapat menghasilkan praktik-praktik yang menyenangkan dan segar.

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.