Friday, December 14, 2007

Komentar-Komentar Menjelang Terbitnya Buku Baru Saya

Oleh Sansulung Johannes El Darsum

Beberapa waktu yang lalu, saya diminta untuk mengulas buku & video yang fenomenal dan best seller "The Secret". Setelah membaca berbagai media dan forum yang membahas hal ini, saya pun tertantang untuk meresponinya.

Karena itu, sebuah buku segera saya susun untuk:
- Menyingkap hal yang krusial dalam The Secret
- Menyikapi beberapa aspek inti dalam The Secret secara proporsional
- Melengkapi kekurangan The Secret yang dipersoalkan oleh berbagai pihak, seperti yang mengemuka di KOMPAS, PEMBELAJAR.COM, ataupun CHARISMA Indonesia.

Dengan demikian, buku ini sekaligus menjadi semacam pedoman aman bagi Anda atau rekan Anda yang ingin menerapkan Law of Attraction, yang menurut beberapa kalangan banyak manfaatnya, namun ada ranjau-ranjau yang perlu kita waspadai.

Ang Tek Khun sebagai pimpinan Gradien Mediatama pun menanggapi kerangka pikir yang saya ajukan dan menerbitkannya dalam waktu dekat. Pak Khun bilang, pemaparan yang memadai dibutuhkan, bukan sekadar wacana setuju atau tidak setuju. Dengan diterbitkan oleh kelompok penerbit umum, kami mengharapkan buku ini bukan hanya menjadi bermanfaat bagi orang Kristen tetapi juga jadi berkat buat yang non-Kristen.

Akhirnya, pada awal Desember terbitlah buku baru saya ini dengan judul "The Secret & Purpose Driven Life: Menggapai Manusia Baru, Pikiran Baru, Hidup Baru". Buku ini juga disertai "Panduan Mengenali Impian Anda Seutuhnya Berdasarkan Quantum Ora-et-labora". Silakan dapatkan di Gramedia, Gunung Agung, dan toko-toko buku Kristen.

Di bawah ini adalah beberapa komentar menarik yang muncul menjelang terbitnya buku ini. Silakan disimak.

Re: [terangdunia] The Secret vs Purpose Driven Christian - Sebuah Pengalaman

jelucas@cbn
wrote:

Dear Bro Sansulung Johannes El Darsum,
Saya sangat senang dengan ulasan anda tentang ‘the secret’, akhirnya ada juga dari ‘kalangan sendiri’ yang bersuara ttg hal ini secara akademis. Bro, beberapa bulan ini saya agak gusar dengan fenomena ‘thesecret’, karena banyak orang merasa telah menjadi ‘beda’ setelah membaca ‘the secret’.

Saya gusar karena hal ini akan membuat manusia menjadi tuhan dan tidak akan lagi memerlukan Tuhan. Hal ini bagus kalo yang dipikirkannya baik secara moril dan tidak melanggar hukum, tapi kalo yang di-ingin-kannya ternyata ‘baik’ bagi dirinya sendiri, gimana?

Saya nonton dvd-nya, dan ini yang membuat saya tambah yakin bahwa the secret tidak sesuai dengan firman Tuhan adalah:
pada saat ada homo yang bisa menyelesaikan masalah dikucilkannya dia dari lingkungannya dengan meratifikasi law of attraction. Memang dia jadi aman dan bebas dari masalahnya tapi sayangnya dia tetap jadi homo. Dan malah mungkin bisa tambah homo, karena dia bisa mewujudkan semua yang enak bagi dia sendiri.

Kalo gitu betapa mengerikannya buku itu. Bayangkan kalo ada pecandu narkoba yang bisa mewujudkan dirinya tetap sehat dan gak mati-mati walaupun masih memakai narkoba dengan law ofattraction.
Sangat mengerikan . . .

Ita Siregar <ita@feminagroup> wrote:

kreatif sekali, bung darsum dan pak khun. kalo istilah saudara kita, mohon doa restu gitu ya. semoga lancar dan berhasil.
pertanyaan: apa dasar atau apa yang menjadi landasan penting untuk menyingkap hal2 krusial dalam the secret sekaligus melengkapi kekurangannya?

sekedar ide saja. seharusnya orang percaya lebih banyak membaca buku yang dipercayanya, alkitab misalnya kalo dia percaya, sehingga secara kreatif, seandainya ia punya waktu, bisa menulis ulang cerita2 di sana dalam narasi berbeda bentuk atau tulisan kreatif lain, atau yang sensasional sehingga jadi bestseller.

rahasia yang dimaksud rhonda byrne dalam the secret kupikir adalah rahasia yang sudah lama ada di buku kalangan orang percaya. masalahnya, pertama kali membaca 'rahasia' tersebut adalah di buku the secret, lalu malah mencurigai asal muasal rahasia itu. bingung soal mana yang sesat dan menyesatkan.

mirip- mirip rush saat the da vinci code muncul. kasihan Tuhan.. heheh. . idenya banyak 'dicuri' manusia, lalu sekelompok manusia lain mencurigai kebenarannya. aduh.

martha pratana <martha@yahoo> wrote:

Dari sisi konten, The Secret memberi jawaban kepada persoalan-persoalan dunia saat ini. Kebutuhan akan kesehat, kedamaian, dan kesejahteraan lahir dan batin di zaman postmo ini semakin mendesak.

Pertanyaan kuno yang semakin tidak dapat ditemukan jawabannya: Sudahkah institusi gereja secara berkelompok dan orang Kristen secara individu menjadi jawaban atas berbagai kebutuhan manusia yang semakin kompleks ini? Catatan: Kebutuhan yang paling hakiki dari manusia di zaman postmo ini bukan sekadar pemenuhan materi dan fisik saja! Sigh :-(

Donny Adi Wiguna wrote:

Masalahnya, TS bukan science. Ini namanya pseudoscience, tidak bisa dianggap netral.

Data Buku:
Judul: "The Secret & Purpose Driven Life"
Ukuran: 13,5 x 17 cm2
Tebal: 136 hlm
Daftar Isi:
-Pengantar: Sebuah Pengalaman
1. Quantum Ora-et-Labora
2. The Law of Attraction & Positive Thinking
3. Manusia Baru & Rahasia Keunggulannya
4. Pikiran Baru & Transformasi Akal-Budi
5. Minta, Percaya, Terima
6. Hidup Baru & Penuh Makna
7. The Law of Abraham & Abundant Blessing
8. Gratitude & Positive Attitude
-Penutup: Kaidah Emas Versi Positif Hanya Ada di Alkitab
-Lampiran: Panduan Mengenali Impian Anda Seutuhnya Berdasarkan Quantum Ora-et-labora

Penulis adalah seorang literature minister, yang aktif dalam komunitas penulis & jurnalis Krisiani (Penjunan) dan lama bekerja fulltime di sebuah gereja di Jakarta. Sekarang melayani di Abbalove Oikos Community.

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Thursday, October 25, 2007

The Secret vs Purpose Driven Christian

Oleh Sansulung John Sum

30 Agustus 2007, hari terakhir saya bersama tim kantor kepresidenan bertugas di Gorontalo, Sulawesi. Penerbangan pulang ke Bandara Soekano-Hatta mulus-mulus saja. Hanya ada sedikit turbulansi lazim tatkala akan transit di Bandara Hasanuddin, Makassar.

Dari Soekarno-Hatta, saya mampir di Jakarta untuk mengambil mobil yang saya titipkan pada adik saya. Setelah beristirahat dan makan malam, saya mengendarai mobil itu untuk pulang ke rumah. Tidak ada masalah apa-apa ketika menempuh rute Grogol, Cawang, Cibubur, Cileungsi, dan Jonggol.

Kecelakaan justru terjadi tatkala saya baru saja melewati pintu gerbang komplek perumahan tempat tinggal saya. Sekonyong-konyong sebuah sepeda motor yang dipacu dengan kecepatan lumayan kencang muncul di depan mobil saya. Segera saya rem. Tak ayal lagi, tabrakan tetap tak terelakkan.

Ajaran The Secret akan menilai saya telah berpikiran negatif sepanjang hari itu. Mungkin saya yang memang mengidap fobia ketinggian, telah membayangkan akan mengalami kecelakaan. Pikiran dan visualisasi itu, sesuai the law of attraction, telah membangkitkan energi yang menarik semesta yang mewujudkan terjadinya kecelakaan itu.

Benarkah asumsi itu? Salahkah asumsi itu?

Hari-hari selanjutnya pada bulan September, saya jalani seperti biasa. Saya pun melanjutkan tugas di Bina Graha untuk membantu Staf Khusus Presiden menerbitkan Tabloid Sambung Hati 9949. Setiap hari saya bolak-balik Jonggol-Jakarta selama berkantor di lingkungan Istana Kepresidenan dan tidak terjadi hal buruk apa pun.

Dua minggu berlalu. 15 September dinihari, kembali menjadi saat yang naas bagi saya. Lagi-lagi terjadi dalam perjalanan pulang dan tidak lama lagi akan tiba di komplek perumahan. Malang tak dapat ditolak, tiba-tiba sebuah mobil dari arah yang berlawanan, berpindah jalur dan dalam sekejap menghantam mobil saya. Anda bisa membayangkan apa yang terjadi pada saya dan mobil sedan saya yang ditabrak dari depan oleh sebuah mobil MPV.

Dinihari itu, jalanan sepi sekali dan tidak mungkin kami masing-masing berkecepatan hanya 30 km perjam. Namun, saya masih mengira bahwa pengendara mobil yang menabrak saya itu berpindah jalur karena akan menyalip mobil di depannya. Ternyata, setelah polisi datang, ia mengaku mengantuk dan baru sadar setelah tabrakan terjadi. Setelah pagi, ia dan keluarga datang ke rumah saya, mengaku salah, dan menyatakan akan menanggung semua biaya akibat kelalaiannya.

Walaupun saya juga mengalami kerugian immaterial dalam musibah ini, namun saya masih mengalami kebaikan dan keberuntungan. Pertama, kecelakaan itu meskipun membahayakan jiwa dan menyakiti tubuh, tetapi tidak sampai mengundang maut ataupun cacat tetap. Kedua, mobil saya itu memang sudah waktunya untuk direnovasi, tetapi saya biarkan saja karena kurangnya dana.

Dengan adanya biaya kompensasi akibat tabrakan itu (Rp 25 juta!) untuk memperbaiki mobil saya, ternyata ada juga hal baik yang bisa didatangkan dari hal buruk ini. Mengapa bisa begitu? Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Roma 8:28. Begitulah, selama 25 tahun bertobat menjadi Kristen, saya senantiasa merasakan penyertaan Allah dalam hidup saya.

Dari fakta yang sama itu dan ayat Alkitab yang sama, bisa memunculkan minimal 2 pendapat yang berbeda. Tergantung persepsi dan teologi yang dianut orang yang bersangkutan.
Seorang teman di gereja berkata bahwa Allah bermaksud memberikan dana yang saya butuhkan untuk merenovasi mobil saya, tetapi saya harus mengalami kesusahan dahulu melalui kecelakaan itu. Kesusahan itu menjadi ujian karakter saya. Tatkala saya lulus ujian, barulah Tuhan mencurahkan berkat-Nya itu kepada saya. Mungkin teman saya itu penganut “teologi kesusahan”.

Teman saya yang lain berkata bahwa tidak mungkin Tuhan merancangkan kecelakaan karena Ia tidak ingin umat-Nya mengalami kesusahan. Tuhan selalu mendatangkan kesentosaan, yaitu kesejahteraan dan kesehatan. Kecelakaan itu terjadi karena dosa saya sendiri. Tetapi, Tuhan yang baik telah mengubah kecelakaan itu menjadi keberuntungan bagi saya. Mungkin teman saya yang ini menganut “teologi kesentosaan”.

Nah, bagaimana ajaran The Secret menilai peristiwa ini? Mungkin tidak jauh dari asumsi terhadap insiden pertama di atas. Jika demikian, maka asumsi itu salah besar karena telah mengabaikan keberadaan Pribadi yang lebih besar daripada semesta ini. Bagi seorang purpose driven christian, segala sesuatu adalah dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah.

“Ini bukan mengenai Anda.” Paragraf singkat ini ditulis oleh Rick Warren untuk mengawali bab 1 buku The Purpose Driven Life. Di paragraf berikutnya, Rick menulis bahwa jika Anda ingin tahu mengapa Anda ditempatkan di planet ini, Anda harus memulainya dengan Allah, Anda dilahirkan oleh tujuan-Nya dan untuk tujuan-Nya. Bab pertama itu sendiri berjudul “Semuanya Diawali dengan Allah.”

Sebaliknya dengan ajaran The Secret: “Meminta apa yang Anda inginkan kepada Semesta adalah kesempatan untuk membuat jelas bagi diri sendiri mengenai apa yang Anda inginkan. Ketika permintaan itu menjadi jelas di benak Anda, Anda sudah memintanya. Semesta tidak membutuhkan waktu untuk mewujudkan apa yang Anda inginkan.”

Jelaslah bahwa The Secret mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah dari Anda, oleh Anda, untuk Anda. Simaklah pernyataan berikut ini: “Semesta muncul dari pikiran. Kita mencipta bukan saja tujuan hidup kita, tetapi juga Semesta.”

Selanjutnya, mungkin Anda bertanya, “Apakah semua ajaran The Secret itu bertentangan dengan teologi Kristen? Bukankah The Secret juga mendukung dan melandaskan ajarannya pada Alkitab? Benarkah guru-guru The Secret terhisab dalam New Age Movement?”
Nah, saya ingin mengajak rekan-rekan berdiskusi menyikapi ajaran The Secret secara proporsional. Mengapa harus proporsional? Mengapa tidak kita labrak habis saja komplotan New Age Movement itu? Saya punya pengalaman menarik mengenai penilaian terhadap guru New Age Movement.

Tiga belas tahun yang lalu, seorang staf saya memuat resensi buku Chicken Soup for the Soul di warta gereja kami. Pada saat yang bersamaan, sebuah majalah Kristen dari Amerika Serikat melaporkan sosok Jack Canfield sebagai penganjur New Age Movement. Jack Canfield adalah penyusun Chicken Soup yang fenomenal itu. Sebagai manajer publikasi di gereja kami, sontak saya mendapat teguran keras dalam rapat kepemimpinan.

Lalu, kami menyampaikan ralat dan permohonan maaf di warta gereja edisi berikutnya. Namun, apa yang terjadi bertahun-tahun kemudian? Terbitlah buku Chicken Soup for the CHRISTIAN Soul, dan Jack Canfield masih sebagai penyusunnya. Buku itu dijual di toko buku gereja kami dan toko-toko buku Kristen lain. Isinya pun sering dikutip sebagai ilustrasi oleh banyak pengkhotbah Kristen! Nah, Jack Canfield yang sama adalah salah satu guru The Secret.

Nah, apa pendapat Anda?

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Thursday, October 4, 2007

Umpan Ampuh untuk Mengail Ide

Oleh Purnawan Kristanto

Bagi penulis, “ide” adalah makhluk yang menggemaskan. Kedatangannya tak dapat dijadwal tepat waktu, mirip sekali dengan pelayanan kereta api di Indonesia. Ketika kita sangat membutuhkan, dia malah jual mahal, bersembunyi entah dimana. Ketika kita sedang tidak siap menulis, dia malah menari-nari menggoda otak kita.

Namun tidak usah khawatir. Anda sebenarnya dapat memasang umpan yang jitu untuk mengail ide pada saat membutuhkannya. Anda memiliki tiga jenis umpan, yaitu umpan ingatan, umpan pengamatan dan umpan riset.

Tulisan yang lebih lengkap dan tips praktisnya dapat dibaca di blog saya: http://purnawan-kristanto.blogspot.com/

1. Ingatan
Theodore Roosevelt berkata, “Do what you can, with what you have, where you are.” Kita dapat memulai mendapatkan bahan cerita dari apa yang sudah kita miliki saat ini, yaitu ingatan atau memori.

a. Kode Kata
Salah satu kunci untuk membuka peti ingatan kita adalah dengan kode kata. Cara yang dipakai adalah memilih kata kunci dari tema cerita atau premise yang sudah ditentukan. Kata ini dipakai sebagai pijakan awal yang akan menuntun kita untuk menemukan satu tema cerita yang spesifik. Setiap kata akan memicu Anda untuk memikirkan beberapa pengalaman. Ketika Anda mengingat kembali satu pengalaman, hal itu akan mendorong Anda untuk menghubungkannya dengan pengalaman lain yang mungkin terlupakan.

b. Curah Gagasan (Brainstorming)
Metode ini merupakan pengembangan dari metode kode kata. Berawal dari sebuah kata, kita menuliskan semua ide yang berkaitan dengan kata tersebut. Anda tidak perlu memusingkan urut-urutannya, alur logika atau ejaan tulisan.

Ketika semua ide sudah dituangkan, selanjutnya bacalah daftar ide Anda. Apakah Anda dapat menarik sebuah benang merah di antara daftar itu? Apakah ada ide yang perlu dibuang? Apakah ada kaitan diantara ide tersebut?.

c. Menulis Bebas
Metode ini hampir mirip dengan melamun. Caranya diawali dengan suatu kata tertentu, Anda menulis secara bebas. Tidak harus berkaitan dengan kata kunci tertentu (inilah perbedaan dengan curah gagasan). Tujuan utamanya adalah menulis kalimat sebanyak-banyaknya dalam waktu tertentu (5-10 menit) tanpa berhenti. Anda tidak perlu merisaukan arah tulisan tersebut dan ketepatan ejaan. Tulis saja dengan bebas.

Jika dirasa sudah cukup, maka baca kembali hasil tulisan bebas tersebut. Temukanlah ide-ide menarik yang dapat dikembangkan. Dari tulisan di atas, kita dapat mengembangkan cerita tentang menyambut kedatangan Yesus.

d. Pemetaan Pikiran
Pemetaan pikiran (mind mapping) adalah sistem perekaman pikiran supaya kita biasa menggunakan otak kiri maupun otak kanan dengan baik. Seluruh bagian otak digunakan untuk berpikir. Untuk melakukan ini, kita dapat menggunakan kata-kata kunci, lambang, dan warna. Mind mapping memungkinkan kita membangkitkan dan mengatur pikiran-pikiran pada waktu yang sama.

2. Pengamatan
Meskipun ingatan dapat menjadi sumber cerita yang kaya, tetapi Anda tidak semua hal masuk ke dalam ingatan Anda. Contohnya, kalau Anda dibesarkan di gunung, Anda mungkin tidak punya kenangan atas kehidupan di laut. Kalau Anda lahir dan besar di kota, Anda mungkin tidak memiliki kenangan atau pengalaman sebagai penggembala. Untuk itu, Anda dapat memakai teknik pengamatan atau observasi.

Di dalam kemiliteran sebelum menyerbu sebuah kota, sang perwira biasanya mengirimkan unit mata-mata untuk menyusup ke sasaran serbu. Tugas mereka adalah mengamati situasi di dalam kota dan mengumpulkan informasi intelijen sebanyak-banyaknya. Misalnya mencatat keadaan jalan, pembangkit listrik, instalasi militer, sarana komunikasi, jumlah penduduk dll.

Mirip dengan agen spionase, dalam metode ini Anda mendatangi sebuah tempat dan mencatat apa saja yang menonjol dan berkesan bagi Anda.


3. Riset
Ada pepatah mengatakan, “Learn from other people's mistakes, life isn't long enough to make them all yourself.” Meski kelihatannya bercanda, tapi ada kebenaran indah di dalam kebenaran ini. Kita harus belajar dari orang lain. Tidak hanya dari kesalahan mereka saja, tetapi juga dari keberhasilan mereka.
Dengan belajar dari orang lain, kita bisa menghemat waktu, biaya dan sumberdaya lainnya. Sebagai contoh, Anda mungkin belum pernah melihat padang rumput di Israel karena untuk pergi ke sana membutuhkan ongkos besar. Hal ini dapat disiasati dengan riset, yaitu meminta informasi dari orang lain.

Tulisan yang lebih lengkap dan tips praktisnya dapat dibaca di blog saya: http://purnawan-kristanto.blogspot.com/

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Wednesday, October 3, 2007

The Law of Abraham (The Secret?)

Oleh Sansulung Johannes El Darsum

Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita dalam Roh Kudus. (Roma 14:17)

Anda ingin menjadi berkat bagi masyarakat, kota dan bangsa kita? Patutlah bagi Anda untuk menengok kecenderungan pergeseran paradigma di marketplace, karena Anda memiliki peluang terbesar untuk meresponi kebutuhan bangsa yang sangat penting dan mendesak saat ini, seperti yang mengemuka dalam berbagai seminar nasional. Inilah saatnya bagi Anda untuk berperan menghadirkan nilai-nilai Kerajaan Allah di marketplace.

Disinyalir, banyak orang mengalami suatu sindrom yang membuat mereka tidak cekatan lagi dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan berbagai pola yang berubah sangat cepat. Orang yang memiliki gejala tersebut berbuat banyak kesalahan dalam menyusun urutan... pikiran yang rasional, dan sulit membawa diri dalam kehidupan sehari-hari. Sindrom diseksekutif ini telah lama terlihat dalam masyarakat Indonesia sehingga turut menyebabkan terjadinya kemelut besar bangsa kita.

Semestinya, kita mengintegrasikan head (pikiran/nalar) dan heart (nurani/moral). Keduanya mesti terorganisir dan terbangun sedemikian rupa agar terintegrasi dengan baik. Jika nurani adalah “singgasana” Tuhan Yang Berdaulat, maka pikiran adalah “meja kerja” tuan sang eksekutif. Visi dari pikiran harus mengakar secara mendalam pada misi dari nurani, agar sindrom diseksekutif tidak tetap bercokol dan berkembang lebih luas. Atau dalam bahasa George Barna, misi mendahului visi.

Sejatinya, hal itu adalah pekerjaan yang sudah menjadi “makanan sehari-hari” kita (bdgkan Yohanes 4:32-36). Segala pemikiran visi kita diselaraskan dalam misi melakukan kehendak Bapa. Lagipula, sebagai garam dan terang dunia, bisnis kita seyogyanya memiliki misi yang menggarami dan visi yang menerangi masyarakat, kota dan bangsa kita (bdgkan Markus 9:49-50). Kita ingin meneladani Abraham yang diberkati Allah untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa.

Sebagai mantan nomaden yang beralih bertani, Abraham merupakan orang pertama, yang disebutkan dalam Alkitab, yang menganggap kapling tanah adalah properti milik pribadi yang dapat diperjualbelikan. Pembahasan yang dilakukan oleh Abraham dengan Efron tentang harga, penjelasan, serta pengumuman pergantian kepemilikan mengandung unsur-unsur dasar kontrak penjualan properti zaman sekarang (bdgkan Kejadian 23:10-20). Sejak kejatuhan komunisme, “hukum” Abraham berlaku di hampir semua negara.

Para pelaku bisnis tradisional sejak beberapa abad lalu memperlakukan sumber daya yang terbatas –hanya menghabiskan tanpa mengolah—seperti orang nomad dengan mentalitas kelangkaan. Itulah sebabnya kebanyakan orang berpandangan bahwa bisnis itu kotor. Dalam paradigma kelangkaan, “kue” ekonomi itu sangat terbatas, sehingga mesti berkompetisi untuk memperoleh bagian keuntungan dengan merugikan orang lain.

Sebaliknya, pelaku bisnis apostolik tidak percaya bahwa Tuhan menciptakan dunia dengan hukum ekonomi di mana keuntungan seseorang mesti merugikan orang lain. Namun, pebisnis apostolik percaya bahwa Tuhan memberikan seperangkat alat, berupa talenta, karunia, dan potensi untuk tidak sekadar menghabiskan sumber daya tersedia, namun lebih berfokus mengolahnya dalam mentalitas kelimpahan (bdgkan Yohanes 10:10).

Paradigma mentalitas kelimpahan percaya bahwa banyak kue keuntungan yang besarnya tak terbatas. Dan, jumlahnya tak terbatas sehingga selalu cukup untuk diperoleh semua orang yang populasi dan kebutuhannya terus meningkat. Mengapa bisa begitu? Karena produktivitas properti intelektual meningkat semakin cepat.

Konsep kepemilikan properti intelektual, sebagaimana hukum Abraham, merupakan landasan perekonomian teknologi modern kita. Kemajuan teknologi terkini telah mengolah dan “menciptakan” lebih banyak sumber daya dan berbagai bisnis kategori baru yang tak terbayangkan pada beberapa dasawarsa lalu.

Pemikiran yang mempertentangkan antara hati nurani dan bisnis telah usang ketinggalan zaman. Paul Zane Pilzer, penulis Unlimited Wealth yang juga pernah menjadi Wakil Presiden termuda Citibank, mengakui bahwa tangan Tuhan memastikan apa yang benar secara moral, kelak dapat membuat setiap orang menikmati kue ekonomi.

Dulu, boleh saja pelaku bisnis dan orang saleh dianggap saling berseberangan. Para pebisnis umumnya menganggap bisnisnya tidak akan maju kalau mengikuti nurani, moral, dan agama. Mereka menyadari cara berbisnis mereka yang tercela sehingga malu kalau berurusan dengan soal-soal agama. Sementara itu, kebanyakan orang saleh tidak mau berbisnis karena menganggap bisnis itu kotor dan akan mengotori nuraninya.

Dalam sebuah seminar yang diadakan oleh sebuah gereja di Kelapa Gading, Hermawan Kartajaya sempat menyinggung gerak perkembangan hubungan dunia bisnis dan kerohanian. Salah seorang pakar pemasaran terbaik di Asia ini membaginya dalam tiga era. Era pertama disebutnya era polarisasi, karena pelaku bisnis dan orang saleh (rohani) bersikap seperti di atas.
Era kedua adalah era balansi dengan pebisnis model Robinhood. Pada era itu, kebanyakan pebisnis sudah tidak malu-malu lagi dengan stigma kotornya bisnis dan terseret ke dalamnya. Lalu, mereka mengimbanginya dengan menjadi pahlawan seperti Robinhood, jika memberi sumbangan dari hasil bisnis yang curang atau korupsi, misalnya. Hasil korupsi pun mereka bagi-bagi, atau melakukan korupsi secara teamwork, sehingga muncullah istilah “korupsi berjamaah”, yang semakin sulit diberantas.

Nah, era saat ini adalah era integrasi antara bisnis dan kerohanian. Berbisnis bukan hanya harus putar otak, tetapi juga harus berlandaskan dan menyelami hati nurani. Dan, ternyata semakin orang menyadari hal ini, semakin terlihat bahwa bisnis tidak serta merta memiliki hakikat yang kotor. Bisnis juga spiritual. Bisnis bisa rohani. Bahkan, ada yang bilang bahwa bisnis itu sendiri adalah ibadah.

Semakin banyak bisnis, atau lebih tepatnya pelaku bisnis, yang berbalik kepada dimensi kerohanian sebagai fondasi dalam memandang keunggulan. Dua konsultan Gay Hendricks dan Kate Ludeman melakukan survei terhadap ratusan perusahaan sukses di Amerika Serikat. Hasilnya, memperlihatkan bahwa aspek etikal manajemen telah berkembang lebih jauh kepada semacam spiritualisasi manajemen.

Hampir semua pengusaha dan eksekutif perusahaan sukses yang diteliti oleh Gay dan Kate memiliki sifat-sifat yang biasanya dimiliki oleh orang-orang suci. Secara lugas, mereka seolah ingin mengatakan bahwa di era globalisasi ini, orang suci tidak hanya dapat ditemukan di rumah-rumah ibadah saja, tetapi Anda juga bisa menemukannya dalam diri pimpinan perusahaan-perusahaan besar atau organisasi-organisasi modern.

Sifat-sifat yang merupakan warisan peradaban luhur itu bergaung dalam ruang-ruang kehidupan di milenium ini. Untuk mendorong manusia kepada sasaran yang lebih pantas. Untuk meraih bentuk keunggulan yang berkelanjutan dalam jangka panjang, yang oleh Tom Morris disebut keunggulan kolaboratif. Menurut narasumber populer bidang bisnis di Amerika Serikat ini, untuk mencapai puncak keunggulan manusia, kita harus dijiwai oleh semangat kolaboratif.

Tom memaparkan tiga model keunggulan. Model yang paling dominan selama ini adalah keunggulan kompetitif. Model ini merupakan warisan pemikiran Barat. Untuk mendapatkan keunggulan dalam suatu kegiatan, seseorang harus mengalahkan orang lain yang menentangnya. Segala upaya dilakukan untuk memenangkan permainan zero-sum. Problem model keunggulan kompetitif terletak pada sifatnya yang individualistis dan memusuhi, yang merusak pranata masyarakat.

Model lainnya berakar dari kebijaksanaan Timur yang disebut keunggulan komparatif. Setiap orang mencapai keunggulan tanpa harus bersaing dengan orang lain, tetapi membandingkan keadaan dirinya sendiri dalam suatu rentang waktu. Dibanding kemarin, apakah hari ini dia sudah lebih dekat kepada sasarannya? Bagaimana caranya agar dia dapat semakin dekat kepada sasarannya? Problem model ini terletak pada kecenderungan eksklusif untuk memikirkan diri sendiri, tidak pernah menggali kepentingan yang lebih besar.

Model alternatif yang ditawarkan oleh Tom Morris adalah keunggulan kolaboratif, yang fokusnya meretas batas-batas individu. Model ini membuang kelemahan dari kedua model sebelumnya, namun tidak menuntut ditinggalkannya hal-hal baik dari cara berpikir kompetitif dan komparatif. Cara berpikir dan kerja kolaboratif yang baik bergantung pada panduan dari cara berpikir kompetitif dan komparatif, namun yang menjadi sumbu roda adalah kerja kolaboratif untuk mencapai hasil yang lebih baik.

Contoh paling gamblang adalah kontes Indonesian Idol, Akademi Fantasi Indosiar, dan yang semacamnya. Ketika memasuki babak final, model keunggulan kolaboratif terlihat amat jelas. Dua orang finalis tidak saling berkompetisi, karena kemenangan salah satunya tidak bergantung kepada kehebatan mereka untuk saling mengalahkan. Masing-masing finalis juga tidak hanya sibuk meningkatkan keunggulan komparatif masing-masing. Agar mendapatkan semakin banyak perhatian audiens, mereka justru berkolaborasi untuk menampilkan performa terbaik mereka, sebagai tim!

Dalam situasi begini, jarang sekali fans mereka yang mengalihkan dukungan. Mereka sudah mempunyai pendukung fanatik sendiri-sendiri. Yang terjadi malah fans mereka yang saling berkompetisi dan berulang-ulang mengirimkan sms dukungan. Sementara itu, dengan kolaborasi kedua finalis juga secara bersama-sama menyedot pendukung baru. Sehingga, total pendukung mereka semakin membengkak, yang pada akhirnya akan membeli album yang telah maupun akan mereka telurkan. Kekuatan sinergis, dalam bentuk apapun, seperti dalam model keunggulan kolaboratif ini, selalu dahsyat dampaknya. Betapa.

Hubungan kolaboratif dapat dikembangkan dengan berkomunitas, dalam interaksi sinergis. Motivasi kolaboratif didasarkan atas misi dan visi yang dipahami dan dikembangkan bersama. Kolaborasi perlu dipandu dengan pemahaman tentang kebutuhan untuk bertumbuh. Adalah tugas para pemimpinnya untuk membentuk pemahaman ini bagi komunitas yang terbentuk.

Dalam sebuah komunitas sejati yang berkelimpahan, setiap anggota mendorong partnernya untuk menjadi yang terbaik menurut kemampuannya. Sebuah komunitas kolaboratif tidak ingin saling mengecewakan dan masing-masing bersedia saling membantu dalam keadaan senang atau susah. Hasilnya adalah damai sejahtera dan sukacita berdasarkan kebenaran dalam Roh Kudus.

Diadaptasi dari buku “Awaking The Excellent Habit”(Sansulung John Sum, Gradien Books).

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Thursday, September 20, 2007

Dapatkan QUANTUM ORA-ET-LABORA pada Ora-et-labora Quadrant

Oleh Johannes Darsum

1. ATHEISME (Iman minus, Ikhtiar plus)
2. AGAMAWI (Iman plus, Ikhtiar minus)
3. AMBURADUL (Iman minus, Ikhtiar minus)
4. ALLELUIA (Iman plus, Ikhtiar plus)

Ketika Copernicus menyatakan bahwa bukan bumi, melainkan mataharilah, pusat dari galaksi ini, dia menghadapi penganiayaan akibat fatwa pemuka agama saat itu. Saat inipun, masih ada sedikit kalangan yang meletakkan pengembangan kecerdasan dan kemampuan manusiawi kita sebagai sesuatu yang berseberangan dengan iman. Paradigma mereka terbentuk oleh penafsiran yang menekankan seolah-olah upaya pembangkitan daya pikir dan potensi alamiah manusia adalah melawan Tuhan.

Namun, sebenarnya dalam banyak hal,... penekanan tersebut hanya merupakan reaksi terhadap sikap orang-orang yang hanya mengandalkan kekuatan manusia semata dan tidak lagi mengandalkan Tuhan. Sayangnya, reaksi tersebut tidak dibarengi discerning yang tepat namun cenderung prejudice yang hanya dilandasi pengalaman beberapa orang saja.


1. Atheism in practise

Haruslah kita akui bahwa cukup banyak orang-orang beragama di sekeliling kita yang tindak-tanduknya menyangkali peranan Tuhan. Hati mereka jauh dari Tuhan (Markus 7:6). Mereka memang mengakui Tuhan secara formal dan lisan, tetapi tidak demikian dalam prakteknya (atheism in practise). Inilah bentuk dari atheisme terselubung.

Atheisme itu sendiri menyangkali peranan Tuhan sebagai Pribadi Utama yang menciptakan dan mengaruniakan segala kemampuan manusiawi kita. Orang-orang atheis menolak keberadaan Tuhan. Mereka merasa segala pencapaian peradaban manusia adalah karena kemampuan manusia itu sendiri. Di dalam semuanya itu, tidak ada Tuhan.

Orang-orang yang hatinya menjauh dari Tuhan, walaupun dapat menikmati pencapaian mereka, tetapi tidak dapat sungguh-sungguh menikmati kesukaan sejati dalam hati mereka. (Yeremia 17:5)

Ikhtiar plus namun iman minus bukanlah cara hidup yang patut diikuti.


2. Agama bukan narkoba

Sementara itu, di kuadran lain, ada kelompok yang sangat malas. Malas berpikir. Malas berikhtiar. Kerja sekadarnya, tidak berinisiatif upaya ekselensi. Bersikap take it for granted terhadap segala hal. Tidak ada keinginan meningkatkan diri. Enggan berpikir besar. Hidup linear saja asal lumayan cenderung mediocre.

Parahnya, jika kemalasan itu memakai keimanan sebagai topeng kepasrahan dan penyerahan diri yang keliru. Tak heran jika Karl Marx akhirnya berkesimpulan bahwa agama adalah candu.

Mediokritas seperti ini bisa timbul karena mindset yang keliru dan kesadaran yang salah tentang nasib dan takdir. Pola pikir yang keliru membuat orang-orang tak berani berpikir besar. Kesadaran yang salah tentang nasib dan takdir membuat orang-orang berjiwa kerdil.

Ketika penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan hidupnya atau keluarganya, ia lantas marah kepada perusahaan. Bisa-bisa, marah kepada Tuhan juga. Pikirnya, bukankah Tuhan sudah berjanji akan mencukupkan segala kebutuhannya. Dan, ia pun rajin berdoa dan sungguh-sungguh berserah kepada Tuhan.

Namun, walaupun Tuhan menyediakan makanan bagi burung pipit, namun Dia tidak meletakkannya di sarangnya. Sekalipun seandainya Tuhan akan mencurahkan hujan uang, kitapun harus bekerja mengumpulkannya, malah ada yang berebut atau direbut orang lain.

Iman plus dengan ikhtiar minus bukanlah pola kerohanian yang sehat.


3. Amburadul

Inilah kelompok yang paling celaka. Sudah imannya minus, ikhtiarnya pun minus. Hasilnya? Tidak perlu kita ulas lagi. Menyitir istilah dalam penjelasan UUD, “Sudah jelas.”


4. Alleluia!!

Tetapi mungkin ada orang berkata: "Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan", aku akan menjawab dia: "Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku." Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setan pun percaya akan hal itu dan mereka gemetar. (Yakobus 2:18-19)

Percaya kepada Tuhan berarti melakukan apa kata Tuhan. Mungkin ilustrasi berikut ini bisa menjelaskan hubungan antara percaya dan melakukan.

Ketika berada di sebuah pusat perbelanjaan, anak saya perlu ke kamar kecil. Lantas, saya bertanya kepada petugas satpam. Setelah diberitahukan arahnya, saya mengucapkan terima kasih dan segera menuju ke kamar kecil sesuai arah yang ditunjukkan.

Seandainya saya tidak berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh petugas satpam tadi, apa artinya? Bukankah ini berarti saya tidak percaya kepada petugas itu, walaupun saya mengucapkan terima kasih?

Percaya bukanlah sekadar verbalitas. Percaya adalah tindakan aktif, tidak pasif. Beriman atau berserah penuh kepada Tuhan tentulah bukan berarti kita tidak boleh mengembangkan kemampuan alamiah manusiawi kita yang pada hakikatnya adalah ciptaan Tuhan.

Mudah untuk menyetujui bahwa iman adalah hal utama dalam kehidupan kita. Namun, kita pun tidak boleh mengabaikan potensi alamiah manusiawi yang diberikan oleh Tuhan. Pengembangan potensi itu merupakan keharusan sebagai penghargaan kita kepada Sang Pemberi.

Beriman adalah hal yang utama. Tetapi, kita juga perlu memberdayakan sekaligus hati dan otak kita untuk berupaya maksimal seraya menyerahkan hasilnya kepada Tuhan. Sinergi keduanya membuat kita semakin dewasa. Keimanan sejati dan karakter tanpa topeng memberi kekuatan untuk berikhtiar dengan potensi maksimal yang telah Tuhan berikan.

Iman plus, ikhtiar plus. Bahan baku keduanya diberikan oleh Tuhan agar kita menghasilkan buah yang teruji. Kajarlah dan dapatkanlah Quantum Ora-et-labora ini.


Johannes Darsum, penulis buku "Awaking The Excellent Habit: Memberdayakan Akal-Budi untuk Sukses, bersama Aa Gym, Andrias Harefa, Andrie Wongso" (Gradien Books).

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Thursday, August 30, 2007

Pengaruh Kemunafikan

Oleh Purnawan Kristanto

Di Jakarta ada bisnis baru yang unik, yaitu jasa penyewaan tas-tas mahal. Penggagas bisnis ini melihat bahwa orang Indonesia senang tampil bergaya di muka umum. Mereka berusaha mendandani diri dengan baju dan aksesoris bermerek terkenal. Semakin besar biaya yang dikeluarkan, semakin besarlah rasa percaya diri mereka.

Namun, jika terus-terusan berbelanja merek mahal tentu kantong akan jebol. Melihat hal ini,... sang pengusaha mencium peluang bisnis. Dia membeli tas-tas merek terkenal dan menyewakannya. Ternyata jasa ini mendapat sambutan yang baik.

Lakunya bisnis ini menunjukkan gejala bahwa orang semakin enggan tampil apa adanya di depan orang lain. Sikap ini menunjukkan adanya kadar kemunafikan dalam diri orang itu. Penyebabnya adalah perasaan gengsi dan keengganan untuk mengakui kenyataan hidupnya.

Perilaku kemunafikan ini tidak banyak merugikan orang lain, kecuali dirinya sendiri. Namun ada kemunafikan yang lebih membahayakan, yaitu kemunafikan untuk menutupi kesalahannya. Dalam film tentang gangster, kita melihat pemimpin mafia yang rajin berderma. Ini dilakukannya untuk menutup-nutupi perilaku busuknya. Yang lebih gawat lagi, jika ada orang yang memanipulasi ajaran agama untuk menciptakan kesan kesalehan. Yesus mengecam keras perilaku ini: “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.” (Matius 23:27)

Kerugian Kemunafikan
Ada harga yang harus dibayar oleh orang-orang yang memutuskan untuk berperilaku munafik:
1. Menguras Waktu, Tenaga dan Dana
Kemunafikan adalah hidup dalam kepalsuan. Orang itu harus hidup di dunia dunia: dunia nyata dan dunia rekaannya sendiri. Hal ini tentu saja membutuhkan banyak waktu, tenaga dan dana. Jika ada orang mengaku sebagai pengusaha sukses, maka dia akan mengeluarkan uang untuk membeli berbagai peralatan kaum eksekutif. Termasuk juga mengikuti gaya hidupnya. Misalnya, makan di restoran mewah dan main golf.

2. Hidup dalam Tekanan
Orang yang munafik selalu merasa takut kedoknya bakal terbongkar. Dia harus berakting sedemikian rupa untuk meyakinkan orang lain. Otaknya selalu berputar mencari cara untuk menutupi kebohongannya. “Sebuah kebohongan hanya dapat ditutupi dengan kebohongan lain yang lebih besar.”

3. Perasaan Tertuduh
Hati kecil orang yang munafik pasti berkata: “Ini bukan hidupku sesungguhnya.” Dia mengakui bahwa hidup seperti ini sesungguhnya tidak benar. Dalam hatinya selalu dikejar-kejar perasaan bersalah.

4. Tuntutan Pertanggung-jawaban
Pada hari Penghakiman nanti, kita harus mempertanggungjawabkan kehidupan kita. Terhadap orang-orang yang munafik, Allah akan memberi hukuman “yang lebih berat” (Mat.23:14).
Yesus mengecam keras perilaku yang munafik. Dia memerintahkan pengikut-Nya supaya hidup secara jujur. “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat” (Mat. 5:37).

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Friday, August 10, 2007

Mahkota & Rahasia Keunggulan Manusia

oleh Sansulung Johannes El Darsum
“Kita punahkan sumber daya alam dengan menggunakannya habis-habisan. Kita punahkan sumber daya diri kita dengan tidak menggunakannya sama sekali.” [Zig Ziglar]

The crown of His creation, mahkota dari segala ciptaan Tuhan, itulah sejatinya manusia. Makhluk terbaik yang penah diciptakan oleh Tuhan. Apa yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia sehingga merupakan ciptaan terbaik? Apa rahasia keunggulan manusia?

Padahal, secara rupa fisik, makhluk lain memiliki kemampuan khas yang bisa mengalahkan manusia. Umpamanya, kuda lebih cepat dan tangguh daripada manusia. Burung bisa terbang. Pohon kelapa lebih tinggi daripada manusia. Ikan bisa bernafas dalam air. Namun, manusia bisa mengungguli segala makhluk lainnya. Apa rahasianya?

Rahasia keunggulan manusia di atas segala makhluk, amatlah sederhana. Rahasia itu terletak pada kemampuannya untuk cerdik bagai ular dan tulus bagai merpati.

Manusia berkemampuan untuk tulus karena dikaruniai budi. Namun, bukan hal ini yang membuat manusia unggul. Banyak hewan yang bahkan “lebih” berbudi daripada manusia. Banyak cerita tentang hal ini.

...Manusia berkemampuan untuk cerdik karena dikaruniai akal. Namun, juga bukan ini yang membuat manusia unggul. Karena, akal juga dimiliki oleh hewan dalam kadar tertentu. Bahkan, juga pada tumbuh-tumbuhan. Mungkin Anda pernah membaca atau melihat sendiri beberapa tetumbuhan makanannya adalah serangga atau hewan lainnya. Tetumbuhan seperti ini, biasanya mempunyai teknik yang jitu untuk menjebak dan melahap mangsanya.

Saya katakan dalam kadar tertentu, karena umumnya orang tidak menyebutnya sebagai akal, tapi intuisi. Saya tak sendirian untuk menyebut intuisi sebagai akal dalam kadar tertentu. Menarik sekali bahwa ketika buku ini [Awaking The Excellent Habit] tengah dipersiapkan, Melly Goeslaw mengeluarkan pernyataan bahwa intuisi itu adalah suatu pemikiran. Melly mengatakan hal ini ketika meluncurkan album terbarunya, “Intuisi”.

Penelitian mutakhir menunjukkan otak burung mirip otak manusia. Burung bisa menggunakan alat, bisa membangun sarang yang hebat, bisa belajar meniru suara di sekitarnya, dan bisa menghitung. Beberapa burung juga memiliki kemampuan kognitif yang lebih kompleks daripada mamalia. Wilayah yang dianggap primitif pada otak burung, yang sebagian besar terdiri dari basal ganglia dan mengontrol perilaku instingtif, itu ternyata merupakan pusat pemrosesan seperti otak mamalia. “Di sinilah burung memroses pembelajaran, pola migrasi, serta perilaku sosialnya,” ujar Erich Jarvis dari Duke University, North Carolina (Reuters, 31/1 2005).

Lalu, apa yang membuat manusia lebih unggul? Yang membuat manusia lebih unggul adalah kemampuannya untuk mendayagunakan akal dan budinya sekaligus. Bukan cuma salah satunya, tetapi keduanya. Bukan cuma sekadar memilikinya, tetapi mendayagunakan keduanya sekaligus. Cerdik bagai ular dan tulus bagai merpati. Rahasianya ada pada kata dan. Memadukannya, mensinergikannya. Kemampuan itulah yang tak dimiliki oleh ciptaan lainnya.

Ko-Kreator, Khalifah, Manajer

Kemampuan yang dikaruniakan oleh Tuhan ini membuat manusia lebih unggul sehingga dapat menjadi ko-kreator, khalifah, dan manajer-Nya atas semesta alam dan segala makhluk lainnya. Akal Budi menjadi sumber daya dahsyat yang membuat manusia mampu menembus batas-batas kemampuan fisiknya. Bahkan, sesuai kodrat yang ditentukan Sang Pencipta, manusia bisa “mencipta” sesuatu yang “tiada” sebelumnya.

Dengan akalnya, manusia mengembangkan beragam teknologi, mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling canggih. Dengan teknologi roda, manusia bisa bergerak lebih cepat daripada kuda. Dengan teknologi roket, manusia bisa melesat lebih tinggi daripada elang.

Teknologi digital telah menghantar umat manusia mengakhiri milenium ke-2 dengan gemilang dan memasuki milenium baru dengan penuh harapan. Kini, dengan teknologi nano yang sedang dikembangkan, manusia bisa meningkatkan kemampuan semua teknologi yang sudah ditemukan menjadi teknologi yang lebih handal dan semakin handal lagi. Teknologi nano akan mengubah wajah peradaban manusia menjadi baru sama sekali.

Tanpa akal, mustahil manusia bisa mencapai tingkat peradaban dan keunggulan terkini. Tanpa akal, mungkin manusia masih hidup di zaman batu. Tanpa akal, mungkin manusia masih memasak dengan peralatan dari batu dan bahan bakar kayu. Sama seperti tikus masih makan dengan mengerat, sejak dahulu sampai sekarang.

Bila akal dipakai untuk memenuhi dorongan pencapaian ilmu pengetahuan manusia, maka budi akan menunjukkan welas asih yang tulus kepada sesama. Kahlil Gibran menyair begini, “Tuhan menempatkan di dasar hati manusia mata untuk melihat apa yang tak terlihat, dan menciptakan dalam dirinya kasih sayang dan kebaikan terhadap semua makhluk”

Tanpa budi, semua hasil pencapaian akal tidak akan ada gunanya. Semua kemajuan hanya akan dipakai untuk menghancurkan. Paradigma antroposentrisme sekuler menjadikan akal manusia sebagai puncak ukuran kebenaran sehingga secara sistemik masyarakat modern telah menghancurkan habitatnya sendiri.

Hasrat menguasai akan membuat manusia saling membinasakan sesamanya dengan teknologi yang dimilikinya. Lihat saja perang demi perang, dengan segala kehancurannya, tak pernah membuat manusia jera. Agamapun tak sanggup membendungnya. Bahkan, tak jarang agama diselewengkan untuk memenuhi hasrat primitif tersebut. Sampai-sampai Jonathan Swift berujar begini, “Kita punya cukup banyak agama untuk membuat kita saling membenci, tetapi tak cukup agama yang membuat kita saling mencintai.” Tentu saja pernyataan ini tak sepenuhnya benar.

Bila kita amati, di dalam agama ada aspek budi pekerti. Hanya, sayangnya aspek ini jarang ditekankan dibandingkan aspek lainnya. Lewat email, kawan saya menceritakan seorang staf di kantornya yang rajin beribadah, telah di-PHK karena memalsukan dokumen. Banyak orang memahami agama sekadar ritual, pertemuan ibadah, dan kegiatan agamawi belaka. Padahal, esensi beragama bukan di sana. Intisari beragama justru pada keluhuran budi pekerti.

Tanpa budi, mungkin kita sudah punah. Mana mungkin kita mencapai keunggulan peradaban terkini. Malahan, mungkin dunia sudah kiamat.

Untunglah manusia dikarunia kemampuan untuk memadukan akal dan budinya. Saling me-leverage. Bukan saling menegasikan. Tetapi saling memperkuat. Akal harus terus dikembangkan. Budi harus terus diberdayakan. Bersinergi. Dan, menghasilkan keunggulan insani.

Dalam skala pribadi, kita harus memiliki cita-cita atau impian, dan menggantungkannya setinggi bintang terjauh di jagat raya. Dengan kata lain, kita harus berpikir besar, menetapkan target yang besar. “Bagi saya, amatlah sederhana, kata Donald Trump, “jika Anda memang mau berpikir, lebih baik bepikirlah tentang hal yang besar.”

Bahkan bagi mereka yang percaya dan menggantungkan dirinya kepada nasib, William Jenning Bryan mengingatkan, “Nasib bukan sesuatu hal yang ditunggu, tetapi sesuatu yang harus dicapai.” Kalau begitu, tak ada bedanya antara nasib dan hasil pencapaian, bukan?

Seorang atlit tidak berlari tanpa tujuan, seorang petinju tidak sembarangan memukul. Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan pasti telah melatih dirinya sedemikian rupa sebelum pertandingan. Untuk memperoleh suatu mahkota kemenangan.

Dalam gelanggang, dia menguasai dirinya dalam segala hal. Dia berlari sedemikian rupa, sesuai aturan main, agar semua hasil latihannya tidak menjadi sia-sia. Walaupun telah berlatih keras sehingga mempunyai kesempatan besar untuk menang, namun jika tak mengikuti aturan main, dia akan didiskualifikasi.

Hidup ini seumpama pertandingan. Mungkin Anda telah mempunyai impian besar, peluang besar, dan pencapaian besar. Namun jika Anda tak mengindahkan aturan main, lingkungan, dan sesama, Anda tidak akan mencapai garis kemenangan sejati.

Sebaliknya, jika Anda mengindahkannya, justru sesama dan lingkungan akan mempermudah kemenangan Anda. Dan sekaligus, Anda juga akan memperoleh nilai tambahnya, yaitu kehormatan, kebesaran, dan kemuliaan.

Akal Budi adalah rahasia keunggulan manusia yang dikaruniakan oleh Sang Pencipta. Ketika kita memadukan akal penalar dan budi pekerti, sinerginya menjadi sumber daya terdahsyat bagi kita. Anda tak ingin menyia-nyiakannya, bukan?

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Monday, July 30, 2007

Top 15 Multicreation Writing Class

















Pembukaan School of Multicreation (multimedia & creative communication) dihadiri oleh 400-an dari 600-an peserta terdaftar untuk 7 kelas/jurusan.


Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Lord, Don't Move That Mountain

by Doris Akers & Mahalia Jackson

Lord, don't move that mountain
Give me strength to climb it
Please don't move that stumbling block
But lead me, Lord, around it

My burdens, they get so heavy
Seems hard to bear
But I won't give up
Because You promised me
You'd meet me at the altar of prayer

Lord, don't move that mountain
Please, don't move that mountain
But give me strength to climb it

The movie The Pursuit of Happyness uses real glide church members and attendees extras in some of the scenes featuring the church, where Christopher Gardner and his son received desperately-needed shelter.

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Sunday, June 24, 2007

Boneka Rusia


Pernah melihat Boneka Rusia?

Boneka ini terdiri dari satu boneka besar yang di dalamnya terdiri dari boneka yang lebih kecil. Di dalam boneka yang lebih kecil ini, terdapat boneka yang lebih kecil lagi. Demikian seterusnya, sampai pada boneka terakhir, yang tak mungkin "beranak" lagi.

Dulunya saya tak pernah memerhatikan boneka ini, sampai pada suatu hari seorang senior saya... bercerita tentang leadership dengan menggunakan satu set boneka Rusia untuk ilustrasi.

Kata beliau, boneka Rusia adalah gambaran yang baik untuk menunjukkan masalah terkait successor. Banyak pemimpin kurang legowo dalam menurunkan kecakapan kepemimpinannya kepada yuniornya, sehingga yuniornya tidak dapat bertumbuh dengan maksimal. Yuniornya tidak bisa bertumbuh lebih "hebat" darinya, bahkan menyamai dirinya pun tak mampu. Demikian pula yunior ini, juga belajar berhemat dalam menurunkan kepandaiannya kepada orang di bawahnya yang lebih yunior dari dirinya. Akibatnya, yunior kedua ini bertumbuh kerdil dibandingkan dirinya, apalagi jika dibandingkan dua generasi di atasnya. Demikianlah, rantai ini terus bertambah panjang.

Pertanyaannya:
1. Apa yang terjadi jika fenomena ini terus berlangsung berkesinambungan, tanpa ada yang terbeban untuk "memotong"-nya?
2. Mengapa fenomena seperti ini sering terjadi di sekeliling kita?
3. Apakah diri kita sendiri terlibat dalam fenomena boneka Rusia ini? Atau bahkan menjadi pelaku utamanya?

Saya rasa untuk pertanyaan nomor 1 dan 2, kita semua secara umum tahu jawabannya. Namun untuk pertanyaan ke 3, hanya kita sendiri yang paling tahu jawabannya!

martha pratana
24 juni 2007

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Saturday, June 16, 2007

Pianis Nan Piawai

Oleh Sansulung Johannes El Darsum
Mungkin para pembaca sudah pernah membaca atau mendengar kisah yang mirip cerita di bawah ini. Namun, perhatikan akhir cerita saya ini sangat berbeda 180 derajat! Silakan disimak.
::
Ruang tamu telah dipenuhi para undangan. Pesta kecil, yang diadakan dalam rangka syukuran rumah baru seorang pianis tenar, itu cukup semarak. Tiba-tiba terdengar... bunyi tuts piano ditekan. Tak beraturan, bising, dan merusak suasana. Tentu saja bukan sang pianis yang tengah beraksi. Tetapi, ada anak kecil tiga tahunan yang penasaran dengan piano baru di ruang tamu tersebut. Perlahan, sang pianis menghampiri anak itu dan duduk mendampinginya. Dengan kepiawaiannya yang sohor, sang pianis mengimbangi dan mengisi kelemahan permainan balita itu, sehingga menciptakan suatu komposisi yang sangat indah.
::
Empat menit berlalu. Para tamu terkesima dan memberikan applause panjang di akhir duet dadakan itu. Mereka memuji kepiawaian sang pianis menempel rusaknya permainan si balita. Tapi, dasar anak kecil, ia mengira dirinya hebat dan para tamu juga bertepuk tangannya untuknya. Ia tertawa lebar menunjukkan rasa bangganya, dan lantas mengundang celetukan nyinyir dari beberapa tamu, seperti, “Nakal!”, “Norak!”, “Sok!”, “Sombong!”, “Ge-er,” atau “Tak tahu diri.” Tetapi, sikap berbeda diperlihatkan oleh sang pianis. Dengan bangga, sang pianis memperkenalkan anaknya itu. Ia memuji minat dan rasa pede puterinya itu. Sang pianis sangat piawai dalam mengenali potensi sang anak. Ia tidak melihat masalah, ia melihat peluang. Tentu saja, dia kan ayahnya. Ya! Itulah hati seorang bapa.

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Thursday, May 24, 2007

Friendship Trip Ke Rumah Dunia


Oleh Ita Siregar

Inilah petikan kami berangkat ke Rumah Dunia (seterusnya disingkat RD), desa Hegar Alam, Ciloang, Serang-Banten.

Waktu itu sinar matahari lumayan terik dan tidak ada angin. Farianto memarkir mobil di tanah luas di depan RD, yang dulu ketika saya berkunjung dua tahun lalu dipakai tempat parkir. Kini sudah berdiri satu kerangka rumah sedang dibangun. Pintu gerbang kupu-kupu yang terbuat dari kayu, dengan tulisan Rumah Dunia di atasnya, sudah terbuka begitu saja. Kang Igun, salah satu relawan RD yang pintar mendongeng, segera menyambut kami sambil menyapa bersemangat, “Dari Depok ya?” Wah, salah, Kang. Dari Jakarta ini mah.

Kang Roni, relawan lain, dengan congcorang hijaunya, menemani sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Katanya, RD lebih ramai dikunjungi orang luar di hari Sabtu dan Minggu, seperti juga jadwal workshop. Sedangkan di hari biasa, anak-anak, remaja atau orang dewasa kapan saja bisa membaca di perpustakaan.

Menurut jadwal Gola akan mementori workshop menulis (jurnalistik) yang sekarang adalah peserta angkatan ke-9 sejak dimulainya. Sambil menunggu, Rebecca dan Hilda sibuk berfoto di gerbang RD, kami juga sih. Konon, Hilda telah lama bermimpi membuat tempat serupa RD. Rebecca menambahkan, sejak kecil, kakak beradik yang kompak ini, bila diberi uang jajan oleh orang tua, mereka pakai membeli buku-buku dan menyusunnya seperti taman bacaan di teras rumah, mengundang teman-teman tetangga untuk datang dan membaca. Dan membayar sewa baca, kan (betul? Hehe..)

Tias Tatanta sibuk memeriksa karya tulis salah seorang dari beberapa anak yang mengikuti latihan menulis di RD. Peserta kursus mulai berdatangan memenuhi kursi plastik warna-warni di depan panggung yang beratap langit. Kang Roni memutar film pendek Indie. Balita Odi dan Kaka, putra ketiga dan keempat Gola-Tias, ikut meramaikan.

Bela, putri sulung Gola yang telah menerbitkan satu novel anak Beautiful Days, tidak terlalu mempedulikan orang-orang yang bertanya soal karyanya. Menurut Tias, Bela agak kesal kalau sedang membaca di perpustakaan dan pengunjung ingin dapat tandatangan di novelnya.

Gola muncul, menyalami kami, bertanya penulis buku Awaking The Excellent Habit, yang diberikan untuk koleksi RD. Bung Darsum. Walhasil, setelah mengingatkan soal cara membuat satu tulisan (jurnalistik), Gola mempersilakan Bung Darsum berbagi perihal proses kreatif terbitnya bukunya, tentang akal penalar dan budi pekerti yang digabungkan menjadi sinergi sehingga manusia dapat mencapai peradaban saat ini. Seorang peserta bertanya teknik dan kesulitan mengumpulkan bahan, sementara Pak Zaenal, pria berkumis yang bertampang garang, malah berkomentar bahwa akal dan budi tidak bisa dipisahkan. Wah, kita memang lagi ngomongin itu. Kemane aje, Pak Zaenal? Heheh…

Berikutnya, Gola mem...persilakan Firdaus, pemimpin redaksi majalah berita TERAS, serupa TEMPO, tapi didistribusikan di sekitar provinsi Banten, untuk membeberkan seluk-beluk pekerjaan jurnalistik. Ternyata kebenaran sulit ditampilkan dalam sebuah tulisan dan ancamannya berat: masuk bui.

Pada satu titik, Firdaus memaparkan, bahwa atribusi atau pangkat atau teman di kala senang, tidak selalu bisa dijadikan teman di kala susah. Dalam satu pengalaman Firdaus dikepung puluhan orang, seorang Hindu menelepon dan seorang Katolik memberi bantuan. Sementara yang selama ini mengaku teman, tidak memunculkan batang hidungnya sama sekali. Pemaparan keadaan Banten yang sangat menarik.

Gola membesarkan hati peserta workshop, bahwa apapun yang terjadi, hati nurani itu tetap harus menjadi pijakan utama. Tidak semua wartawan itu baik. Tidak semua pejabat atau pengusaha itu buruk. Tapi, mereka juga manusia yang mempunyai hati nurani.

RD mendiami lokasi tanah seluas 1000m persegi, berbentuk segi empat, dengan tanah kosong di tengah-tengahnya dengan dua pohon besar (pohon apa ya itu), lalu ruang-ruang yang membentuk segiempat, mulai perpustakaan dewasa "Surosowan" di sebelah kanan pintu masuk, lalu sekretariat, panggung tempat latihan teater atau pertunjukan, perpustakaan remaja, toko buku, perpustakaan anak, ruang Jenderal Kancil, yang berfungsi seperti taman kanak-kanak.

Hari beranjak sore tapi teman-teman dari IKAPI muncul. Mereka perlu merekam aktivitas Gola sedang mementori workshop, karena film akan ditayangkan di pesta buku mendatang di Jakarta. Karena telah waktu shalat asar, kegiatan reda sejenak. Sambil memberi tip-tip praktis menulis cerpen, menceritakan alur dan plot, Gola direkam. Kami ikut jadi figuran.

Sebelum kembali ke Jakarta, kami bersantap siang di sore hari di rumah makan sederhana yang menjual rabeg (gulai kambing ala Banten), sate bandeng, soto. Soto ayam yang dipesan Rebecca dan Farianto uasin-nya nggak ketulungan. Setelah kami berdiri untuk pergi, kucing-kucing langsung menyerbu meja makan yang kami tinggali. Waduh, seperti di film horor deh. Tapi, kami menikmati perjalanan kunjungan ini.

Sekarang kita tunggu saja Hilda dan mimpinya membuat ‘rumah dunia’ yang lain.

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Taman Menteng


Bekas lapangan Persija yang pembongkarannya bikin heboh akhir tahun lalu, kini telah berubah eksotik.
Kini, warga Jakarta memiliki
sebuah lagi, taman baru di tengah
kota, dengan fasilitas olahraga
seperti lapangan basket, futsal,
dan voli, serta 44 sumur resapan.
Sesuai dengan namanya,
Taman Menteng terletak di
kawasan Menteng, Jakarta
Pusat. Tepatnya, di
jalan HOS Cokroaminoto.

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Friday, May 11, 2007

Dunia Belum Berakhir


Oleh Sansulung Johannes El Darsum

DUNIA dan perang seakan sepasang sumpit.
Itulah yang muncul menjadi kesan setiap insan yang mengenyam udara awal milenium ini. Bumi ini dilahirkan dari Kasih. Juga oleh, dengan, dan bagi Kasih. Walau begitu, hantu perang selalu setia menemaninya.
Ya, perang. Perang!
Will dan Ariel Durant (The Lessons of History, 1968) menyatakan bahwa sejak manusia bisa mencatat sejarah, yaitu lebih dari 3 milenium, ternyata hanya kurang dari 300 tahun yang bisa dinyatakan bebas konflik atau perang. Itu berarti lebih dari 90% riwayat hidup manusia, yang tercatat oleh sejarah, diwarnai oleh konflik dan peperangan.
Megatragedi Perang Dunia I dan Perang Dunia II telah menjadi noktah dekil dalam... catatan sejarah. Para pihak pemenang tragedi global terakhir itu pun kemudian terbagi menjadi dua kubu yang saling berhadapan dalam perang dingin. Kubu lainnya berjenis “nonblok” menyusul lahir, Gerakan Non-Blok. Kemudian, Blok Timur tak dapat bertahan. Diruntuhkannya Tembok Berlin menyimboli bangkrutnya sistem yang dicoba dibangun berdasarkan komunisme.
Perang dingin berakhir. Melangkah ke milenium ketiga, bangsa-bangsa mulai optimis akan masa depan dunia ini. Di kawasan Timur Tengah pun, saat itu, terbetik harapan rujuknya Israel dengan Palestina. Ada harapan akan tatanan dunia yang baru. Abad ke-20 yang dua kali mengobarkan api bencana global itu ternyata sanggup mengakhiri milenium kedua dengan “selamat”.
Di Indonesia pun, dada anak pertiwi bisa mulai bernafas lebih lega saat itu. Dipercayakannya tampuk pemerintahan kepada sosok yang dikehendaki rakyat secara demokratis, menimbulkan rasa keniscayaan untuk keluar dari krisis. Ada cinta dengan apa saja yang ikhlas diberikan, ada cita dengan semangat gotong royong untuk meraihnya.
:: SUVENIR MILENIUM BARU
Sedang giat-giatnya menggalang kebersamaan untuk memulihkan Asia dari stroke resesi ekonomi, sontak planet ini mendapat kejutan. Surprise…! Bukan sebuah hadiah yang dipersiapkan secara diam-diam oleh para sahabat, kerabat, dan kekasih untuk merayakan sebuah momen istimewa. Tetapi, sebuah tanda mata milenium ketiga dengan tanda tangan yang di-teken di ground zero di negaranya bung superman itu. Segenap penjuru kampung global terpana-na.
Olala. Si kembar ikon arogansi niaga globalisasi itu rebah ke bumi. Segilima posko satgas tempur nomor wahid sejagat pun tersruduk oleh salah satu dari 4 pesawat yang berhasil ditunggangi pembajak. Lebih dari 3.000 jiwa dikubur hidup-hidup dalam puing-puing WTC. Para panglima Pentagon tentu merah padam hatinya, bukan cuma naik tensi dan naik pitam tetapi juga malu tiada kepalang.
Dengan lihai, desainer serangan tersebut memainkan emosi bangsa superior tersebut. Tanggal September 11th, bisa ditulis 911 dalam kebiasaan beberapa negara. Sementara itu, bilangan 3 angka itu merupakan nomor telepon bagi masyarakatnya tatkala membutuhkan bantuan polisi, misalnya ketika ada ancaman penjahat. Kode 911, yang sangat akrab dalam keseharian mereka, kini menjadi memori trauma mahahebat.
Banyak yang menitikkan airmata atas jatuhnya korban ribuan jiwa. Banyak juga yang mengejek tidak berdayanya syarikat “adidaya” itu. Banyak juga yang menyoraki ide brilyan yang brutal itu. Banyak juga yang melaknati perancang serangan itu. Banyak juga yang mendoakan pahala bagi para pelakunya. Banyak juga yang menggugat ketidaksigapan aparatur pelindung bangsanya. Banyak juga yang menahan geraman yang siap disalakkan.
Ada juga yang menyebut megatragedi inovasi awal milenium ketiga itu sebagai awal Perang Dunia Ketiga! Namun, siapakah musuh yang harus diserang balas? Sampai saat ini bukti yang cakap masih sulit diungkap. Yang jelas, kemurkaan telah ditumpahkan kepada pihak yang memberi applause bagi tindakan biadab tersebut dan pihak yang berpotensi mendukung aksi sejenis.
Malu hati dan kalut otak telah membuat gelap mata. Karena merasa kedaulatan nation-state telah dirubuhkan oleh teror spektakuler itu, George W. Bush pun menganggap paradigma geopolitik yang dianut bangsa-bangsa sejak abad ke-16 itu sudah kuno dan tak relevan dalam menghadapi terorisme. Setelah rezim dukungan Al-Qaeda “dibersihkan” dari Afghanistan, giliran pun telah diputar ke arah Saddam Husein. Sang junior bertekad mengulangi sukses George Bush senior mengusir serdadu Saddam Husein dari Kuwait. Kali ini, penguasa Babylonia itu sendiri yang disuruh hengkang dari negerinya.
Saddam dituduh membangkangi resolusi PBB untuk melucuti semua senjata pemusnah masalnya, termasuk senjata biologi dan kimia yang digunakannya semasa Perang Teluk I. Persenjataan itu dianggap berpotensi digunakan oleh teroris. Alasan lainnya adalah bahwa rakyat negeri seribu satu malam itu memerlukan pembebasan dari diktator itu. Lagi-lagi, segenap penjuru kampung sejagat terpana-na-na. Lewat media dengar-pandang setiap saat, kehancuran dan korban jiwa dapat dilihati dan digerutui. Tayangan-tayangan kontak mata melalui Al-arabiya, Aljazeera, BBC, CCTP, dan CNN itu sungguh mengiris-iris sanubari kita. Dapatkah kekejian seperti ini dihentikan? Selama masih ada nafsu angkara, memang hal ini akan berulang terus.
Prof Arnold M Ludwig dari University of Kentucky, menelusuri ribuan kepala negara/pemerintahan seabad terakhir. Ludwig mengungkapkan betapa tingkah laku elite politik, yang disurvei, sangat ditentukan oleh naluri instinktif hewani untuk mendominasi secara psikis, seksual, dan egoisme.
Alois A. Nugroho dari Unika Atma Jaya (Kompas, 4/4’03) menulis: “Drama bellum omnium contra omnes bukan lagi sekadar the war of every man against man, tetapi lebih berupa the war of every civilization against civilization. Karena tidak ada ‘rasionalitas universal’, maka kompetisi klaim harus diselesaikan dengan kekuatan lain. Muncullah pemeo might is right, kekuatanlah yang akan menentukan siapa-siapa yang pantas disebut universal, yang dalam perkembangan sejarah lazim berhubungan dengan klaim kebenaran ‘final’ (Huntington/Ruslani, 2000:597).”
Semua itu, untuk memenuhi hasrat primitif pemimpin politik untuk saling menguasai. Tanpa peduli korban jiwa, efek keamanan dunia, maupun biaya yang diperlukan untuk penghancuran dan pembangunannya kembali nanti.
AS sendiri membutuhkan anggaran lebih dari lima ratus trilyun rupiah. Bagi mereka yang mengalami trauma mahahebat dengan kerugian moril dan materiil sangat besar, mungkin hal itu cukup masuk akal. Akibat serangan 911, selain ambruknya dua menara WTC, memang telah membangkrutkan beberapa perusahaan besar dan dilanjuti PHK besar-besaran. Lebih baik mencegah, itu logikanya. Dan, tentu ada hitung-hitungan tertentu jika mereka dapat bekerjasama dengan rezim baru dalam mengeksploitasi ladang minyak terbesar nomor dua di dunia itu.
:: WILAYAH PUSAT KONFLIK DUNIA
Christianto Wibisono dalam kolomnya di Suara Pembaruan, Wash’Wacth, menulis: “Gelombang terorisme berlatar belakang kebencian dengan isu Palestina itu mencapai puncak pada serangan megateror 11 September 2001 yang merupakan kegagalan imajinasi FBI/CIA. Tidak pernah terpikir bahwa ada manusia bisa begitu kejam, keji dan sadis membunuh sesama manusia tanpa sebab, tanpa konflik, tanpa salah dan tanpa alasan. Kecuali alasan tradisional bahwa AS membela Israel anti-Palestina, karena itu pantas dibantai secara kejam pada 11 September.”
Kawasan Timur Tengah memang pantas dijuluki thermometer bahkan barometer suhu dunia. Geliat konflik di kawasan ini semakin bergolak ketika negara Israel berdiri dengan dukungan dari Inggris dan AS. Perang di kawasan ini pun mengekspor ekses konflik dengan isu-isu keagamaan ke belahan dunia lain. Sebuah pemahaman keyakinan agama seringkali menjadi harga mati yang patut dibela sampai mati. Beberapa pemimpin bangsa Arab, yang sekuler sekalipun seperti Saddam Husein, pandai sekali memainkan hal ini.
Apalagi, memori kesumat Perang Salib (crusade) sulit dihapuskan dan kerap membumbui konflik-konflik masa kini. Melalui rekaman audio tape, Osama bin Laden menganjurkan jihad melawan The Crusaders. Perang Salib memang telah meninggalkan luka budaya terdalam bagi bangsa Arab dan Yahudi.
Sejak tahun 638 Masehi, Yerusalem telah direbut dan dikuasai oleh Khalif Omar. Walikota yang beragama Islam pun menunjukkan toleransi kepada seluruh warga, termasuk orang Kristen dan Yahudi. Namun, ketika Yerusalem jatuh ke tangan pasukan Perang Salib pada tahun 1099, terjadilah salah satu kesalahan besar gereja. Pasukan itu menghebohkan dunia dengan pengkhianatan mereka, dengan membantai warga Yerusalem yang mayoritas orang Arab. Mereka juga membakar sinagoge beserta orang-orang Yahudi yang bersembunyi di dalamnya. Tentara Perang Salib mengesahkan tindakan terhadap orang-orang Yahudi itu sebagai doktrin kompensasi karena orang-orang Yahudi telah membunuh Yesus di kayu salib. Saat gereja-gereja Protestan muncul, teologi beberapa denominasi juga melanjutkan penganiayaan ini. Akhirnya, memuncak pada masa Nazi Jerman.
Hati bangsa Yahudi memang sedemikian keras sehingga membuat mereka sulit dijangkau bagi Injil. Tetapi, janji-janji Allah yang ditujukan bagi Israel lahiriah tidak dapat digagalkan kembali tanpa meragukan integritas-Nya “Mengenai Injil mereka adalah seteru Allah oleh karena kamu, tetapi mengenai pilihan mereka adalah kekasih Allah oleh karena nenek moyang.” (Roma 11). Allah juga menepati janji-Nya untuk menyertai Ismael dan membuat keturunannya menjadi bangsa Arab yang besar saat ini. Beginilah Firman Allah kepada Abraham mengenai Hagar, istrinya, “Tetapi keturunan dari hambamu itu juga akan Kubuat menjadi suatu bangsa, karena iapun anakmu.” Allah juga berfirman Hagar mengenai Ismael, anak Abraham, “Bangunlah, angkatlah anak itu, dan bimbinglah dia, sebab Aku akan membuat dia menjadi bangsa yang besar.” (Kejadian 21).
Menurut Rick Joyner dari MorningStar Ministries, pasukan Perang Salib telah menabur berbagai kekuatan, filsafat, dan teologi yang paling jahat ke dalam dunia. Buahnya adalah timbulnya kebencian turun temurun sehingga jutaan orang terpisah dari Injil. Orang-orang Kristen harus bertobat dari dosa-dosa mereka terhadap orang-orang Islam dan Yahudi. Paus Yohanes Paulus II tampaknya telah menyatakan kebenaran ini dengan semangat dan kerendahan hati yang besar sehingga seluruh dunia perlu memperhatikannya.
Dengan mengidentifikasi dan bertobat dari dosa bapa-bapa kita itu, kita akan menerima kelepasan dari dosa generasi itu sehingga tidak mengulanginya. Bukan dengan mengritiknya, karena kritik itu sebenarnya justru memastikan bahwa kita juga akan jatuh. Tetapi dengan menganggap dosa-dosa itu sebagai masalah kita, bukan hanya masalah mereka. Ya, kita harus bertobat dari masalah kita bersama itu dan mencari kasih karunia Tuhan.
Kita bersyukur bahwa terhadap agresi ke Irak oleh AS, cukup signifikan jumlah kelompok gereja di seluruh dunia yang angkat suara dan angkat tangan untuk menentangnya. Di Indonesia pun, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia bergabung bersama pemimpin agama lainnya dalam Gerakan Moral Nasional dan telah mencoba mencegahnya sebelum invasi dilancarkan. Mereka juga berangkat ke Vatikan untuk menyatakan dukungan kepada Paus yang secara tegas menentang serangan tersebut.
:: PEPERANGAN PROFETIK
Iman Kristen menempatkan gereja dalam posisi yang mulia, sebagai penjaga gawang standar moralitas. Tatkala mengakui kesalahannya, gereja belajar untuk rendah hati dan menjadi teladan untuk mengatakan yang salah adalah salah dan yang benar adalah benar. Keterbukaan ini juga penting agar tidak lagi menghambat terjadinya kebangunan rohani.
Keterbukaan ini akan menjadi sarana pembelajaran bagi kita untuk kembali kepada kuasa profetik kita, bukannya mengandalkan kekuatan politik dan militer. Karena, peperangan kita adalah peperangan profetik. Peperangan politik dan militer mengakibatkan kematian. Sedangkan, peperangan profetik akan membuahkan kebangunan rohani.
Sesungguhnya Tuhan Yesus telah memberikan kita kuasa profetik itu “untuk menginjak ular dan kalajengking, dan untuk menahan kekuatan musuh.” Musuh bersama kita saat ini sedang menyemai bibit penyakit jasmani (AIDS, SARS, dll), penyakit jiwani, dan penyakit rohani dalam waktu bersamaan.
Billy Graham (Damai Dengan Allah, YBK/OMF), mengutip Profesor Sorokin, mengatakan, “Kita hidup di tengah-tengah salah satu dari krisis-krisis yang terbesar dalam sejarah manusia. Bukan saja peperangan, bencana kelaparan, penyakit dan revolusi, tetapi banyak lagi bencana-bencana lain merajalela di seluruh dunia. Segala nilai dan norma hidup menjadi tidak menentu dan rusak. Krisis memasuki bidang-bidang sosial, ekonomi, politik, dan seluruh cara hidup dan pola pikir. Melihat semua itu, persangkaan kita cukup beralasan bahwa akibat-akibat yang dahsyat akan menimpa kita secara besar-besaran dalam zaman kita ini.”
Apakah kiamat di zaman akhir ini segera tiba? Apakah Tuhan Yesus segera datang besok, bulan depan, atau tahun depan? Kita tidak tahu persisnya. Yang pasti, saat ini dunia belum berakhir. Dan, selama itu pula, peperangan kita belum berakhir. Di dalam peperangan yang bukan melawan darah dan daging ini, kita akan menjadi kuat di dalam Dia dengan mengenakan kuasa profetik yang dilimpahkannya (Efesus 6:10).
Kita masih menantikan datang kembalinya kebangunan rohani yang lebih besar dibandingkan yang terjadi di masa lalu. Anak-anak Tuhan semakin bertumbuh dewasa serupa Kristus. Gereja yang dewasa akan bersatu dalam ikatan kasih. Kerajaan Allah akan datang dalam kuasa Roh Kudus, bukan dengan kekuatan militer. Kehendak-Nya akan ditegakkan dalam hukum kasih, bukan oleh hukum rimba (might is right).

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.

Hidup dalam Kesederhanaan

Oleh Gavrila Pinasthika
Semua orang mengenal warteg alias Warung Tegal, yang merupakan tempat makan yang sudah menjamur di Nusantara. Jika seseorang menanyakan Anda tentang bentuk fisik warteg, tentu Anda akan membayangkan sebuah ruangan kecil sederhana dengan meja dan lemari kaca yang berisi berbagai macam makanan, serta sebuah atau beberapa kursi panjang tanpa sandaran untuk pengunjung.
Keberadaan warteg dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Dari segi sosial, warteg merupakan tempat yang banyak dikunjungi orang dari strata sosial yang berbeda. Tidak hanya dari buruh bangunan, tukang becak, dan orang-orang dari kelas ekonomi bawah, terkadang kita juga dapat melihat... orang-orang dari kalangan menengah, seperti pekerja kantor dan mahasiswa, makan di warteg. Warteg menjadi pilihan banyak orang karena harganya yang ekonomis.
Dari segi kesehatan, memang ada beberapa warteg yang kurang memenuhi standar kesehatan, seperti misalnya banyaknya lalat yang mengerubungi makanan, ruangan yang kotor, dan sebagainya. Namun, banyak juga warteg memiliki ruangan yang relatif bersih. Menu di warteg pun terdiri dari beragam masakan seperti tempe goreng, mi goreng, telur dadar, sayur kangkung, ikan goreng, ayam goreng, dan makanan lainnya. Sesungguhnya, warteg mempunyai varian makanan yang lengkap yang memenuhi standar 4 sehat 5 sempurna.
Sekarang kita tahu secara garis besar tentang warteg, namun, tahukah kita bagaimana kehidupan pedagang warteg? Berikut hasil wawancara saya terhadap beberapa pedagang warteg yang berada di ibukota dan di luar ibukota.
Wawancara pertama yang saya lakukan adalah dengan pedagang warteg di Semarang, tepatnya di depan Universitas Diponegoro. Warteg itu bernama Warteg Ibu Dwi. Ibu Dwi menjalankan usaha ini bersama suaminya. Mereka telah menjalankan usaha warteg sejak lama, namun mereka baru menetap di tempat kontrakan mereka di Semarang 2 bulan lalu. Sebelumnya mereka berjualan warteg di Jakarta.
Ibu Dwi dan suaminya adalah orang Tegal. Pendapatan kotor mereka per bulan dari berjualan warteg kira-kira Rp 600.000,- per bulan. Jumlah ini memang tergolong kurang, namun kehidupan di kota Semarang masih memungkinkan mereka untuk hidup sederhana dengan seorang anak lelaki yang berumur 5 tahun. Ketika Lebaran tiba, mereka akan pulang ke “daerahnya” yaitu di Tegal untuk menunaikan Hari Raya dan bertemu dengan keluarga.
Keseharian Ibu Dwi dimulai dengan bangun pagi pk 04.00, setelah itu langsung memasak makanan untuk dijual sejak pk 05.00. Sejam setelah itu barulah warteg dibuka. Semua makanan selesai dimasak pada kira-kira pk 10.00. Setelah itu, Ibu Dwi dan suaminya melayani pembeli hingga makanan habis atau paling lambat hingga pk 21.00.
Ibu Dwi mengakui, salah satu kesulitan dari menjalankan usaha warteg ini adalah kurangnya modal dan kenaikan harga sembako. Namun berkat keahlian masak turun-temurun dalam keluarganya, wartegnya bisa berkembang. Ibu Dwi juga sudah membuka cabang dari wartegnya, yang berada di Bogor dan dijalankan oleh adiknya.
Pengunjung yang datang ke warteg Ibu Dwi ini kebanyakan adalah mahasiswa dari Universitas Diponegoro dan pekerja bangunan. Alasan mereka makan di warteg adalah karena harganya yang murah, yaitu sekitar Rp 3.000,- untuk makanan dan Rp 1.500,- untuk minuman.
Di Semarang, Ibu Dwi dan suaminya juga mengikuti semacam organisasi warteg, yaitu Koperasi Warteg. Di perkumpulan yang semua anggotanya orang Tegal murni ini, pengusaha-pengusaha warteg di Semarang dapat memperoleh pinjaman modal untuk mendirikan warteg atau mendirikan cabang baru. Di perkumpulan ini pula mereka dapat berdiskusi tentang suka-duka menjalankan warteg, tips-tips baru dalam memasak, bahkan reuni keluarga. Jelas sekali semangat kekeluargaan dan gotong-royong yang tinggi tampak dalam perkumpulan ini.
Wawancara kedua yang saya lakukan adalah kepada pedagang warteg di ibukota Jakarta. Warteg ini bernama Warteg Aida. Ibu Aida menjalankan usaha ini semenjak tahun 1995 yang lalu. Awalnya ia bertani, namun karena pendapatan yang diperolehnya belum dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari, ia mulai menekuni bisnis warteg.
Awal-awal Ibu Aida menjalankan usaha ini memang dirasanya berat. Dahulu, ia harus mengontrak selama beberapa tahun dengan biaya Rp 3 juta per tahun. Setelah usahanya berjalan cukup lancar, ia berencana membeli tempat seluas 70 m2 itu dengan harga Rp 3,5 juta per meter (total Rp 245 juta). Kini Ibu Aida telah mempunyai warteg yang cukup luas serta lemari pendingin untuk minuman. Bahkan, ibu 2 anak ini berhasil membiayai anaknya hingga sarjana dan menikah.
Ibu Aida yang mempunyai 2 anak dan 1 cucu ini menggaji 3 pembantu untuk melayani tamu, yang digajinya Rp 900 ribu. Jumlah ini dirasa cukup dari pendapatan kotornya yang berjumlah Rp 4 juta per bulan, suatu jumlah yang menurutnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun, tidak semua perjalanan Ibu Aida mulus. Pernah ia berniat untuk meluaskan usahanya dengan membuka cabang di Purwokerto. Namun karena ulah pegawainya yang tidak bertanggung jawab, yaitu mencuri perabotan dan peralatan wartegnya, ia tidak dapat menjalankan usaha tambahannya. Di samping itu, tidak sedikit pembeli yang ‘nge-bon’ atau berhutang dulu padanya. Kebanyakan dari mereka memang membayar utang mereka, namun beberapa ada yang tidak, bahkan lupa sama sekali untuk membayar utangnya. Menghadapi semua tantangan tersebut, Ibu Aida tetap bersyukur dan optimis untuk mencoba membuka cabang lagi.
Berbeda dengan warteg Ibu Dwi di Semarang, pengunjung warteg Ibu Aida kebanyakan dari kalangan menengah, seperti misalnya pekerja kantoran, sopir taksi, maupun pekerja proyek bangunan. Sama seperti pengunjung-pengunjung warteg pada umumnya, mereka senang makan di warteg dikarenakan harga makanannya yang murah, yaitu di antara Rp 3.000,- hingga Rp 3.500,- per porsi. Harga ini tidak ditentukan oleh sesama pengusaha warteg. Walaupun setiap pengusaha mempunyai harga sendiri-sendiri, namun rata-rata sama dengan harga makanan di warteg Ibu Aida.
Ibu Aida juga mengakui bahwa ada suatu pertemuan khusus pengusaha warteg di Jakarta, yaitu Arisan Warteg. Sama seperti di Semarang, semua anggota arisan ini juga orang Tegal seluruhnya. Arisan ini diadakan sebulan sekali. Ibu Aida senang menjadi bagian dari perkumpulan ini, karena dengan begitu ia dapat mengetahui setiap perkembangan warteg yang berada di Jakarta.
Keseharian Ibu Aida tidak jauh berbeda dengan Ibu Dwi. Ia bangun pagi pada pk 05.00. Setelah itu, ia mandi, sholat, lalu memasak hingga pk 06.00. Ia juga dibantu ketiga karyawannya ketika memasak. Jika bahan-bahan masakannya habis, Ibu Aida biasa membelinya di Pasar Minggu. Modal yang dikeluarkannya untuk membeli bahan-bahan masakan ini juga tidak murah, misalnya saja untuk memasak nasi, ia membutuhkan 1 karung beras 50 kg yang akan habis setelah 2 hari. Ketika Lebaran, Ibu Aida beserta keluarganya juga akan pulang ke kampung halamannya dan bercengkerama dengan handai taulan di Tegal. Di Tegal jugalah, ia akan merekrut seorang atau beberapa pembantu baru untuk membantunya menjalankan usaha warteg.
Demikianlah hasil wawancara saya terhadap dua contoh pedagang warteg yang berada di Jakarta dan di luar Jakarta. Kita dapat menarik suatu kesimpulan di sini, bahwa dalam setiap usaha, kerja keras dan optimisme yang tinggi dapat mengantarkan kita menuju kesuksesan dan mimpi-mimpi kita. Kalaupun gagal, hendaklah kita berpikir bahwa kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Di samping itu, kita juga perlu mengingat bahwa hidup tidak hanya bergantung pada materi, tapi juga rasa kekeluargaan dan hubungan sosial kita dengan orang lain. Pengusaha-pengusaha warteg di atas dapat hidup sederhana dan tetap bahagia serta bersyukur dengan hidup yang sudah mereka jalani, mengapa kita tidak mencontoh mereka?

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.