Thursday, September 20, 2007

Dapatkan QUANTUM ORA-ET-LABORA pada Ora-et-labora Quadrant

Oleh Johannes Darsum

1. ATHEISME (Iman minus, Ikhtiar plus)
2. AGAMAWI (Iman plus, Ikhtiar minus)
3. AMBURADUL (Iman minus, Ikhtiar minus)
4. ALLELUIA (Iman plus, Ikhtiar plus)

Ketika Copernicus menyatakan bahwa bukan bumi, melainkan mataharilah, pusat dari galaksi ini, dia menghadapi penganiayaan akibat fatwa pemuka agama saat itu. Saat inipun, masih ada sedikit kalangan yang meletakkan pengembangan kecerdasan dan kemampuan manusiawi kita sebagai sesuatu yang berseberangan dengan iman. Paradigma mereka terbentuk oleh penafsiran yang menekankan seolah-olah upaya pembangkitan daya pikir dan potensi alamiah manusia adalah melawan Tuhan.

Namun, sebenarnya dalam banyak hal,... penekanan tersebut hanya merupakan reaksi terhadap sikap orang-orang yang hanya mengandalkan kekuatan manusia semata dan tidak lagi mengandalkan Tuhan. Sayangnya, reaksi tersebut tidak dibarengi discerning yang tepat namun cenderung prejudice yang hanya dilandasi pengalaman beberapa orang saja.


1. Atheism in practise

Haruslah kita akui bahwa cukup banyak orang-orang beragama di sekeliling kita yang tindak-tanduknya menyangkali peranan Tuhan. Hati mereka jauh dari Tuhan (Markus 7:6). Mereka memang mengakui Tuhan secara formal dan lisan, tetapi tidak demikian dalam prakteknya (atheism in practise). Inilah bentuk dari atheisme terselubung.

Atheisme itu sendiri menyangkali peranan Tuhan sebagai Pribadi Utama yang menciptakan dan mengaruniakan segala kemampuan manusiawi kita. Orang-orang atheis menolak keberadaan Tuhan. Mereka merasa segala pencapaian peradaban manusia adalah karena kemampuan manusia itu sendiri. Di dalam semuanya itu, tidak ada Tuhan.

Orang-orang yang hatinya menjauh dari Tuhan, walaupun dapat menikmati pencapaian mereka, tetapi tidak dapat sungguh-sungguh menikmati kesukaan sejati dalam hati mereka. (Yeremia 17:5)

Ikhtiar plus namun iman minus bukanlah cara hidup yang patut diikuti.


2. Agama bukan narkoba

Sementara itu, di kuadran lain, ada kelompok yang sangat malas. Malas berpikir. Malas berikhtiar. Kerja sekadarnya, tidak berinisiatif upaya ekselensi. Bersikap take it for granted terhadap segala hal. Tidak ada keinginan meningkatkan diri. Enggan berpikir besar. Hidup linear saja asal lumayan cenderung mediocre.

Parahnya, jika kemalasan itu memakai keimanan sebagai topeng kepasrahan dan penyerahan diri yang keliru. Tak heran jika Karl Marx akhirnya berkesimpulan bahwa agama adalah candu.

Mediokritas seperti ini bisa timbul karena mindset yang keliru dan kesadaran yang salah tentang nasib dan takdir. Pola pikir yang keliru membuat orang-orang tak berani berpikir besar. Kesadaran yang salah tentang nasib dan takdir membuat orang-orang berjiwa kerdil.

Ketika penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan hidupnya atau keluarganya, ia lantas marah kepada perusahaan. Bisa-bisa, marah kepada Tuhan juga. Pikirnya, bukankah Tuhan sudah berjanji akan mencukupkan segala kebutuhannya. Dan, ia pun rajin berdoa dan sungguh-sungguh berserah kepada Tuhan.

Namun, walaupun Tuhan menyediakan makanan bagi burung pipit, namun Dia tidak meletakkannya di sarangnya. Sekalipun seandainya Tuhan akan mencurahkan hujan uang, kitapun harus bekerja mengumpulkannya, malah ada yang berebut atau direbut orang lain.

Iman plus dengan ikhtiar minus bukanlah pola kerohanian yang sehat.


3. Amburadul

Inilah kelompok yang paling celaka. Sudah imannya minus, ikhtiarnya pun minus. Hasilnya? Tidak perlu kita ulas lagi. Menyitir istilah dalam penjelasan UUD, “Sudah jelas.”


4. Alleluia!!

Tetapi mungkin ada orang berkata: "Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan", aku akan menjawab dia: "Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku." Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setan pun percaya akan hal itu dan mereka gemetar. (Yakobus 2:18-19)

Percaya kepada Tuhan berarti melakukan apa kata Tuhan. Mungkin ilustrasi berikut ini bisa menjelaskan hubungan antara percaya dan melakukan.

Ketika berada di sebuah pusat perbelanjaan, anak saya perlu ke kamar kecil. Lantas, saya bertanya kepada petugas satpam. Setelah diberitahukan arahnya, saya mengucapkan terima kasih dan segera menuju ke kamar kecil sesuai arah yang ditunjukkan.

Seandainya saya tidak berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh petugas satpam tadi, apa artinya? Bukankah ini berarti saya tidak percaya kepada petugas itu, walaupun saya mengucapkan terima kasih?

Percaya bukanlah sekadar verbalitas. Percaya adalah tindakan aktif, tidak pasif. Beriman atau berserah penuh kepada Tuhan tentulah bukan berarti kita tidak boleh mengembangkan kemampuan alamiah manusiawi kita yang pada hakikatnya adalah ciptaan Tuhan.

Mudah untuk menyetujui bahwa iman adalah hal utama dalam kehidupan kita. Namun, kita pun tidak boleh mengabaikan potensi alamiah manusiawi yang diberikan oleh Tuhan. Pengembangan potensi itu merupakan keharusan sebagai penghargaan kita kepada Sang Pemberi.

Beriman adalah hal yang utama. Tetapi, kita juga perlu memberdayakan sekaligus hati dan otak kita untuk berupaya maksimal seraya menyerahkan hasilnya kepada Tuhan. Sinergi keduanya membuat kita semakin dewasa. Keimanan sejati dan karakter tanpa topeng memberi kekuatan untuk berikhtiar dengan potensi maksimal yang telah Tuhan berikan.

Iman plus, ikhtiar plus. Bahan baku keduanya diberikan oleh Tuhan agar kita menghasilkan buah yang teruji. Kajarlah dan dapatkanlah Quantum Ora-et-labora ini.


Johannes Darsum, penulis buku "Awaking The Excellent Habit: Memberdayakan Akal-Budi untuk Sukses, bersama Aa Gym, Andrias Harefa, Andrie Wongso" (Gradien Books).

Maaf terpotong, baca sambungannya... silakan klik ini.