Friday, August 10, 2007

Mahkota & Rahasia Keunggulan Manusia

oleh Sansulung Johannes El Darsum
“Kita punahkan sumber daya alam dengan menggunakannya habis-habisan. Kita punahkan sumber daya diri kita dengan tidak menggunakannya sama sekali.” [Zig Ziglar]

The crown of His creation, mahkota dari segala ciptaan Tuhan, itulah sejatinya manusia. Makhluk terbaik yang penah diciptakan oleh Tuhan. Apa yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia sehingga merupakan ciptaan terbaik? Apa rahasia keunggulan manusia?

Padahal, secara rupa fisik, makhluk lain memiliki kemampuan khas yang bisa mengalahkan manusia. Umpamanya, kuda lebih cepat dan tangguh daripada manusia. Burung bisa terbang. Pohon kelapa lebih tinggi daripada manusia. Ikan bisa bernafas dalam air. Namun, manusia bisa mengungguli segala makhluk lainnya. Apa rahasianya?

Rahasia keunggulan manusia di atas segala makhluk, amatlah sederhana. Rahasia itu terletak pada kemampuannya untuk cerdik bagai ular dan tulus bagai merpati.

Manusia berkemampuan untuk tulus karena dikaruniai budi. Namun, bukan hal ini yang membuat manusia unggul. Banyak hewan yang bahkan “lebih” berbudi daripada manusia. Banyak cerita tentang hal ini.

...Manusia berkemampuan untuk cerdik karena dikaruniai akal. Namun, juga bukan ini yang membuat manusia unggul. Karena, akal juga dimiliki oleh hewan dalam kadar tertentu. Bahkan, juga pada tumbuh-tumbuhan. Mungkin Anda pernah membaca atau melihat sendiri beberapa tetumbuhan makanannya adalah serangga atau hewan lainnya. Tetumbuhan seperti ini, biasanya mempunyai teknik yang jitu untuk menjebak dan melahap mangsanya.

Saya katakan dalam kadar tertentu, karena umumnya orang tidak menyebutnya sebagai akal, tapi intuisi. Saya tak sendirian untuk menyebut intuisi sebagai akal dalam kadar tertentu. Menarik sekali bahwa ketika buku ini [Awaking The Excellent Habit] tengah dipersiapkan, Melly Goeslaw mengeluarkan pernyataan bahwa intuisi itu adalah suatu pemikiran. Melly mengatakan hal ini ketika meluncurkan album terbarunya, “Intuisi”.

Penelitian mutakhir menunjukkan otak burung mirip otak manusia. Burung bisa menggunakan alat, bisa membangun sarang yang hebat, bisa belajar meniru suara di sekitarnya, dan bisa menghitung. Beberapa burung juga memiliki kemampuan kognitif yang lebih kompleks daripada mamalia. Wilayah yang dianggap primitif pada otak burung, yang sebagian besar terdiri dari basal ganglia dan mengontrol perilaku instingtif, itu ternyata merupakan pusat pemrosesan seperti otak mamalia. “Di sinilah burung memroses pembelajaran, pola migrasi, serta perilaku sosialnya,” ujar Erich Jarvis dari Duke University, North Carolina (Reuters, 31/1 2005).

Lalu, apa yang membuat manusia lebih unggul? Yang membuat manusia lebih unggul adalah kemampuannya untuk mendayagunakan akal dan budinya sekaligus. Bukan cuma salah satunya, tetapi keduanya. Bukan cuma sekadar memilikinya, tetapi mendayagunakan keduanya sekaligus. Cerdik bagai ular dan tulus bagai merpati. Rahasianya ada pada kata dan. Memadukannya, mensinergikannya. Kemampuan itulah yang tak dimiliki oleh ciptaan lainnya.

Ko-Kreator, Khalifah, Manajer

Kemampuan yang dikaruniakan oleh Tuhan ini membuat manusia lebih unggul sehingga dapat menjadi ko-kreator, khalifah, dan manajer-Nya atas semesta alam dan segala makhluk lainnya. Akal Budi menjadi sumber daya dahsyat yang membuat manusia mampu menembus batas-batas kemampuan fisiknya. Bahkan, sesuai kodrat yang ditentukan Sang Pencipta, manusia bisa “mencipta” sesuatu yang “tiada” sebelumnya.

Dengan akalnya, manusia mengembangkan beragam teknologi, mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling canggih. Dengan teknologi roda, manusia bisa bergerak lebih cepat daripada kuda. Dengan teknologi roket, manusia bisa melesat lebih tinggi daripada elang.

Teknologi digital telah menghantar umat manusia mengakhiri milenium ke-2 dengan gemilang dan memasuki milenium baru dengan penuh harapan. Kini, dengan teknologi nano yang sedang dikembangkan, manusia bisa meningkatkan kemampuan semua teknologi yang sudah ditemukan menjadi teknologi yang lebih handal dan semakin handal lagi. Teknologi nano akan mengubah wajah peradaban manusia menjadi baru sama sekali.

Tanpa akal, mustahil manusia bisa mencapai tingkat peradaban dan keunggulan terkini. Tanpa akal, mungkin manusia masih hidup di zaman batu. Tanpa akal, mungkin manusia masih memasak dengan peralatan dari batu dan bahan bakar kayu. Sama seperti tikus masih makan dengan mengerat, sejak dahulu sampai sekarang.

Bila akal dipakai untuk memenuhi dorongan pencapaian ilmu pengetahuan manusia, maka budi akan menunjukkan welas asih yang tulus kepada sesama. Kahlil Gibran menyair begini, “Tuhan menempatkan di dasar hati manusia mata untuk melihat apa yang tak terlihat, dan menciptakan dalam dirinya kasih sayang dan kebaikan terhadap semua makhluk”

Tanpa budi, semua hasil pencapaian akal tidak akan ada gunanya. Semua kemajuan hanya akan dipakai untuk menghancurkan. Paradigma antroposentrisme sekuler menjadikan akal manusia sebagai puncak ukuran kebenaran sehingga secara sistemik masyarakat modern telah menghancurkan habitatnya sendiri.

Hasrat menguasai akan membuat manusia saling membinasakan sesamanya dengan teknologi yang dimilikinya. Lihat saja perang demi perang, dengan segala kehancurannya, tak pernah membuat manusia jera. Agamapun tak sanggup membendungnya. Bahkan, tak jarang agama diselewengkan untuk memenuhi hasrat primitif tersebut. Sampai-sampai Jonathan Swift berujar begini, “Kita punya cukup banyak agama untuk membuat kita saling membenci, tetapi tak cukup agama yang membuat kita saling mencintai.” Tentu saja pernyataan ini tak sepenuhnya benar.

Bila kita amati, di dalam agama ada aspek budi pekerti. Hanya, sayangnya aspek ini jarang ditekankan dibandingkan aspek lainnya. Lewat email, kawan saya menceritakan seorang staf di kantornya yang rajin beribadah, telah di-PHK karena memalsukan dokumen. Banyak orang memahami agama sekadar ritual, pertemuan ibadah, dan kegiatan agamawi belaka. Padahal, esensi beragama bukan di sana. Intisari beragama justru pada keluhuran budi pekerti.

Tanpa budi, mungkin kita sudah punah. Mana mungkin kita mencapai keunggulan peradaban terkini. Malahan, mungkin dunia sudah kiamat.

Untunglah manusia dikarunia kemampuan untuk memadukan akal dan budinya. Saling me-leverage. Bukan saling menegasikan. Tetapi saling memperkuat. Akal harus terus dikembangkan. Budi harus terus diberdayakan. Bersinergi. Dan, menghasilkan keunggulan insani.

Dalam skala pribadi, kita harus memiliki cita-cita atau impian, dan menggantungkannya setinggi bintang terjauh di jagat raya. Dengan kata lain, kita harus berpikir besar, menetapkan target yang besar. “Bagi saya, amatlah sederhana, kata Donald Trump, “jika Anda memang mau berpikir, lebih baik bepikirlah tentang hal yang besar.”

Bahkan bagi mereka yang percaya dan menggantungkan dirinya kepada nasib, William Jenning Bryan mengingatkan, “Nasib bukan sesuatu hal yang ditunggu, tetapi sesuatu yang harus dicapai.” Kalau begitu, tak ada bedanya antara nasib dan hasil pencapaian, bukan?

Seorang atlit tidak berlari tanpa tujuan, seorang petinju tidak sembarangan memukul. Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan pasti telah melatih dirinya sedemikian rupa sebelum pertandingan. Untuk memperoleh suatu mahkota kemenangan.

Dalam gelanggang, dia menguasai dirinya dalam segala hal. Dia berlari sedemikian rupa, sesuai aturan main, agar semua hasil latihannya tidak menjadi sia-sia. Walaupun telah berlatih keras sehingga mempunyai kesempatan besar untuk menang, namun jika tak mengikuti aturan main, dia akan didiskualifikasi.

Hidup ini seumpama pertandingan. Mungkin Anda telah mempunyai impian besar, peluang besar, dan pencapaian besar. Namun jika Anda tak mengindahkan aturan main, lingkungan, dan sesama, Anda tidak akan mencapai garis kemenangan sejati.

Sebaliknya, jika Anda mengindahkannya, justru sesama dan lingkungan akan mempermudah kemenangan Anda. Dan sekaligus, Anda juga akan memperoleh nilai tambahnya, yaitu kehormatan, kebesaran, dan kemuliaan.

Akal Budi adalah rahasia keunggulan manusia yang dikaruniakan oleh Sang Pencipta. Ketika kita memadukan akal penalar dan budi pekerti, sinerginya menjadi sumber daya terdahsyat bagi kita. Anda tak ingin menyia-nyiakannya, bukan?