Wednesday, October 3, 2007

The Law of Abraham (The Secret?)

Oleh Sansulung Johannes El Darsum

Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita dalam Roh Kudus. (Roma 14:17)

Anda ingin menjadi berkat bagi masyarakat, kota dan bangsa kita? Patutlah bagi Anda untuk menengok kecenderungan pergeseran paradigma di marketplace, karena Anda memiliki peluang terbesar untuk meresponi kebutuhan bangsa yang sangat penting dan mendesak saat ini, seperti yang mengemuka dalam berbagai seminar nasional. Inilah saatnya bagi Anda untuk berperan menghadirkan nilai-nilai Kerajaan Allah di marketplace.

Disinyalir, banyak orang mengalami suatu sindrom yang membuat mereka tidak cekatan lagi dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan berbagai pola yang berubah sangat cepat. Orang yang memiliki gejala tersebut berbuat banyak kesalahan dalam menyusun urutan... pikiran yang rasional, dan sulit membawa diri dalam kehidupan sehari-hari. Sindrom diseksekutif ini telah lama terlihat dalam masyarakat Indonesia sehingga turut menyebabkan terjadinya kemelut besar bangsa kita.

Semestinya, kita mengintegrasikan head (pikiran/nalar) dan heart (nurani/moral). Keduanya mesti terorganisir dan terbangun sedemikian rupa agar terintegrasi dengan baik. Jika nurani adalah “singgasana” Tuhan Yang Berdaulat, maka pikiran adalah “meja kerja” tuan sang eksekutif. Visi dari pikiran harus mengakar secara mendalam pada misi dari nurani, agar sindrom diseksekutif tidak tetap bercokol dan berkembang lebih luas. Atau dalam bahasa George Barna, misi mendahului visi.

Sejatinya, hal itu adalah pekerjaan yang sudah menjadi “makanan sehari-hari” kita (bdgkan Yohanes 4:32-36). Segala pemikiran visi kita diselaraskan dalam misi melakukan kehendak Bapa. Lagipula, sebagai garam dan terang dunia, bisnis kita seyogyanya memiliki misi yang menggarami dan visi yang menerangi masyarakat, kota dan bangsa kita (bdgkan Markus 9:49-50). Kita ingin meneladani Abraham yang diberkati Allah untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa.

Sebagai mantan nomaden yang beralih bertani, Abraham merupakan orang pertama, yang disebutkan dalam Alkitab, yang menganggap kapling tanah adalah properti milik pribadi yang dapat diperjualbelikan. Pembahasan yang dilakukan oleh Abraham dengan Efron tentang harga, penjelasan, serta pengumuman pergantian kepemilikan mengandung unsur-unsur dasar kontrak penjualan properti zaman sekarang (bdgkan Kejadian 23:10-20). Sejak kejatuhan komunisme, “hukum” Abraham berlaku di hampir semua negara.

Para pelaku bisnis tradisional sejak beberapa abad lalu memperlakukan sumber daya yang terbatas –hanya menghabiskan tanpa mengolah—seperti orang nomad dengan mentalitas kelangkaan. Itulah sebabnya kebanyakan orang berpandangan bahwa bisnis itu kotor. Dalam paradigma kelangkaan, “kue” ekonomi itu sangat terbatas, sehingga mesti berkompetisi untuk memperoleh bagian keuntungan dengan merugikan orang lain.

Sebaliknya, pelaku bisnis apostolik tidak percaya bahwa Tuhan menciptakan dunia dengan hukum ekonomi di mana keuntungan seseorang mesti merugikan orang lain. Namun, pebisnis apostolik percaya bahwa Tuhan memberikan seperangkat alat, berupa talenta, karunia, dan potensi untuk tidak sekadar menghabiskan sumber daya tersedia, namun lebih berfokus mengolahnya dalam mentalitas kelimpahan (bdgkan Yohanes 10:10).

Paradigma mentalitas kelimpahan percaya bahwa banyak kue keuntungan yang besarnya tak terbatas. Dan, jumlahnya tak terbatas sehingga selalu cukup untuk diperoleh semua orang yang populasi dan kebutuhannya terus meningkat. Mengapa bisa begitu? Karena produktivitas properti intelektual meningkat semakin cepat.

Konsep kepemilikan properti intelektual, sebagaimana hukum Abraham, merupakan landasan perekonomian teknologi modern kita. Kemajuan teknologi terkini telah mengolah dan “menciptakan” lebih banyak sumber daya dan berbagai bisnis kategori baru yang tak terbayangkan pada beberapa dasawarsa lalu.

Pemikiran yang mempertentangkan antara hati nurani dan bisnis telah usang ketinggalan zaman. Paul Zane Pilzer, penulis Unlimited Wealth yang juga pernah menjadi Wakil Presiden termuda Citibank, mengakui bahwa tangan Tuhan memastikan apa yang benar secara moral, kelak dapat membuat setiap orang menikmati kue ekonomi.

Dulu, boleh saja pelaku bisnis dan orang saleh dianggap saling berseberangan. Para pebisnis umumnya menganggap bisnisnya tidak akan maju kalau mengikuti nurani, moral, dan agama. Mereka menyadari cara berbisnis mereka yang tercela sehingga malu kalau berurusan dengan soal-soal agama. Sementara itu, kebanyakan orang saleh tidak mau berbisnis karena menganggap bisnis itu kotor dan akan mengotori nuraninya.

Dalam sebuah seminar yang diadakan oleh sebuah gereja di Kelapa Gading, Hermawan Kartajaya sempat menyinggung gerak perkembangan hubungan dunia bisnis dan kerohanian. Salah seorang pakar pemasaran terbaik di Asia ini membaginya dalam tiga era. Era pertama disebutnya era polarisasi, karena pelaku bisnis dan orang saleh (rohani) bersikap seperti di atas.
Era kedua adalah era balansi dengan pebisnis model Robinhood. Pada era itu, kebanyakan pebisnis sudah tidak malu-malu lagi dengan stigma kotornya bisnis dan terseret ke dalamnya. Lalu, mereka mengimbanginya dengan menjadi pahlawan seperti Robinhood, jika memberi sumbangan dari hasil bisnis yang curang atau korupsi, misalnya. Hasil korupsi pun mereka bagi-bagi, atau melakukan korupsi secara teamwork, sehingga muncullah istilah “korupsi berjamaah”, yang semakin sulit diberantas.

Nah, era saat ini adalah era integrasi antara bisnis dan kerohanian. Berbisnis bukan hanya harus putar otak, tetapi juga harus berlandaskan dan menyelami hati nurani. Dan, ternyata semakin orang menyadari hal ini, semakin terlihat bahwa bisnis tidak serta merta memiliki hakikat yang kotor. Bisnis juga spiritual. Bisnis bisa rohani. Bahkan, ada yang bilang bahwa bisnis itu sendiri adalah ibadah.

Semakin banyak bisnis, atau lebih tepatnya pelaku bisnis, yang berbalik kepada dimensi kerohanian sebagai fondasi dalam memandang keunggulan. Dua konsultan Gay Hendricks dan Kate Ludeman melakukan survei terhadap ratusan perusahaan sukses di Amerika Serikat. Hasilnya, memperlihatkan bahwa aspek etikal manajemen telah berkembang lebih jauh kepada semacam spiritualisasi manajemen.

Hampir semua pengusaha dan eksekutif perusahaan sukses yang diteliti oleh Gay dan Kate memiliki sifat-sifat yang biasanya dimiliki oleh orang-orang suci. Secara lugas, mereka seolah ingin mengatakan bahwa di era globalisasi ini, orang suci tidak hanya dapat ditemukan di rumah-rumah ibadah saja, tetapi Anda juga bisa menemukannya dalam diri pimpinan perusahaan-perusahaan besar atau organisasi-organisasi modern.

Sifat-sifat yang merupakan warisan peradaban luhur itu bergaung dalam ruang-ruang kehidupan di milenium ini. Untuk mendorong manusia kepada sasaran yang lebih pantas. Untuk meraih bentuk keunggulan yang berkelanjutan dalam jangka panjang, yang oleh Tom Morris disebut keunggulan kolaboratif. Menurut narasumber populer bidang bisnis di Amerika Serikat ini, untuk mencapai puncak keunggulan manusia, kita harus dijiwai oleh semangat kolaboratif.

Tom memaparkan tiga model keunggulan. Model yang paling dominan selama ini adalah keunggulan kompetitif. Model ini merupakan warisan pemikiran Barat. Untuk mendapatkan keunggulan dalam suatu kegiatan, seseorang harus mengalahkan orang lain yang menentangnya. Segala upaya dilakukan untuk memenangkan permainan zero-sum. Problem model keunggulan kompetitif terletak pada sifatnya yang individualistis dan memusuhi, yang merusak pranata masyarakat.

Model lainnya berakar dari kebijaksanaan Timur yang disebut keunggulan komparatif. Setiap orang mencapai keunggulan tanpa harus bersaing dengan orang lain, tetapi membandingkan keadaan dirinya sendiri dalam suatu rentang waktu. Dibanding kemarin, apakah hari ini dia sudah lebih dekat kepada sasarannya? Bagaimana caranya agar dia dapat semakin dekat kepada sasarannya? Problem model ini terletak pada kecenderungan eksklusif untuk memikirkan diri sendiri, tidak pernah menggali kepentingan yang lebih besar.

Model alternatif yang ditawarkan oleh Tom Morris adalah keunggulan kolaboratif, yang fokusnya meretas batas-batas individu. Model ini membuang kelemahan dari kedua model sebelumnya, namun tidak menuntut ditinggalkannya hal-hal baik dari cara berpikir kompetitif dan komparatif. Cara berpikir dan kerja kolaboratif yang baik bergantung pada panduan dari cara berpikir kompetitif dan komparatif, namun yang menjadi sumbu roda adalah kerja kolaboratif untuk mencapai hasil yang lebih baik.

Contoh paling gamblang adalah kontes Indonesian Idol, Akademi Fantasi Indosiar, dan yang semacamnya. Ketika memasuki babak final, model keunggulan kolaboratif terlihat amat jelas. Dua orang finalis tidak saling berkompetisi, karena kemenangan salah satunya tidak bergantung kepada kehebatan mereka untuk saling mengalahkan. Masing-masing finalis juga tidak hanya sibuk meningkatkan keunggulan komparatif masing-masing. Agar mendapatkan semakin banyak perhatian audiens, mereka justru berkolaborasi untuk menampilkan performa terbaik mereka, sebagai tim!

Dalam situasi begini, jarang sekali fans mereka yang mengalihkan dukungan. Mereka sudah mempunyai pendukung fanatik sendiri-sendiri. Yang terjadi malah fans mereka yang saling berkompetisi dan berulang-ulang mengirimkan sms dukungan. Sementara itu, dengan kolaborasi kedua finalis juga secara bersama-sama menyedot pendukung baru. Sehingga, total pendukung mereka semakin membengkak, yang pada akhirnya akan membeli album yang telah maupun akan mereka telurkan. Kekuatan sinergis, dalam bentuk apapun, seperti dalam model keunggulan kolaboratif ini, selalu dahsyat dampaknya. Betapa.

Hubungan kolaboratif dapat dikembangkan dengan berkomunitas, dalam interaksi sinergis. Motivasi kolaboratif didasarkan atas misi dan visi yang dipahami dan dikembangkan bersama. Kolaborasi perlu dipandu dengan pemahaman tentang kebutuhan untuk bertumbuh. Adalah tugas para pemimpinnya untuk membentuk pemahaman ini bagi komunitas yang terbentuk.

Dalam sebuah komunitas sejati yang berkelimpahan, setiap anggota mendorong partnernya untuk menjadi yang terbaik menurut kemampuannya. Sebuah komunitas kolaboratif tidak ingin saling mengecewakan dan masing-masing bersedia saling membantu dalam keadaan senang atau susah. Hasilnya adalah damai sejahtera dan sukacita berdasarkan kebenaran dalam Roh Kudus.

Diadaptasi dari buku “Awaking The Excellent Habit”(Sansulung John Sum, Gradien Books).