Friday, July 25, 2008

Belajar dari Ana dan Diran

oleh Martha Pratana

Ini cerita tentang Ana dan Diran. Ceritanya asli (memang terjadi), tetapi namanya direkayasa.

Ana pintar memasak masakan Indonesia. Kalau memasak rawon, soto, balado dan lain-lain memang oke sekali. Ana juga menyadari bahwa dirinya itu pandai memasak. Sayangnya, Ana "over pe-de", dia anggap kalau sudah pandai memasak masakan Indonesia itu berarti dia pasti bisa memasak semua jenis masakan secara otomatis.

Pada suatu ketika, dia ditempatkan pada suatu situasi di mana dia harus memasak masakan Cina. Dia harus memasak fuyunghai. Tentu, dia tahu yang namanya fuyunghai itu modelnya bagaimana. Dia pun sudah pernah mencicipi bagaimana rasa fuyunghai itu. Tetapi, memasak fuyunghai? Dia belum pernah.

Tetapi Ana tak bisa mengelak. Dia harus memasak fuyunghai. Dan hasilnya? Ana gagal. Ana tak paham bagaimana membuat saus fuyunghai.

Tetapi Ana masih merasa dia serba bisa dalam hal masak memasak.

Suatu kali, Ana berkenalan dengan seorang pemuda. Pada pandangan pertama, kelihatannya si pemuda menyukai Ana. Demikian pula Ana, yang memang sudah lama mencari-cari calon suami, langsung jatuh hati pada pemuda ini.

Pertemuan pertama berlanjut pada pertemuan kedua dan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Mereka mulai saling menjajaki. Pada pertemuan yang kesekian, Ana mulai berani menyombongkan diri. Pikirnya, sekalian promosi, dia bercerita pada pemuda itu, yang bernama Diran, bahwa dia pandai masak. Ana mengatakan bahwa majikannya cocok dengan masakannya (Ana bekerja sebagai seorang kepala rumah tangga di sebuah keluarga). Ana pun bertanya, apa pekerjaan Diran. Diran menjawab bahwa dia bekerja di sebuah restoran. Ana senang. Katanya, tipe pekerjaan mereka memiliki benang merah. yaitu sama-sama bersentuhan dengan makanan.

Pada pertemuan selanjutnya, Ana bercerita bahwa sebagai kepala rumah tangga, Ana tidak hanya memasak, tapi juga melakukan pekerjaan-pekerjaan lainnya, seperti mencuci baju, membersihkan perabot dan sebagainya. Pokoknya pekerjaan Ana sangat kompleks. Dia bekerja serabutan dan Ana memberikan kesan bahwa dia orang yang sangat terampil dan jika jadi isteri pasti dia jadi isteri yang mumpuni.

Secara iseng, Ana bertanya pada Diran, apakah kalau kerja di restoran Diran harus pakai seragam? Karena sejauh yang Ana tahu, pada umumnya karyawan restoran selalu memakai seragam kalau bekerja. Dan Diran pun menjawab, "Iya dong...mesti pakai seragam. Aku pakai seragam koki..."

Ooops! Hati Ana berdetak keras! "Mati aku!" pikirnya. Jadi Diran adalah koki? Berarti Diran juga pintar masak, dan bukan sekadar karyawan restoran. Ah, masak sih? Ana hampir-hampir tak percaya bahwa ada juga orang yang pintar memasak seperti dia. Ana menjadi penasaran, dia melanjutkan bertanya, di manakah kiranya Diran menjadi koki. Diran mengatakan bahwa dia menjadi koki di sebuah restoran Cina.

"Jadi, kamu bisa memasak masakan Cina?" Ana bertanya.
"Bisa dong...", Diran menjawab.
"Bisa masak fuyunghai?" Ana penasaran.
"BIsa dong...aku biasanya juga masak koloke, bakmi goreng, sapo tahu...dan lain-lain..."
"Wah! Kamu dari mana bisa masak semuanya itu?" Ana masih juga kurang terima.
"Ya...aku sekolah dong..."
"Oh, memangnya ada ya sekolah masak?"
"Ada dong. Aku kan ambil jurusan tata boga..."

Ana terkesiap. Ternyata ada juga orang yang lebih bisa dari dia! Ternyata ada juga sekolah masak; semula dia kira orang bisa masak hanya karena belajar dari pengalaman atau dari melihat orang lain memasak. Ternyata dunia ini luas juga dan isinya macam-macam. Ya, dia belum tahu pepatah Cina ini: “Di atas langit ada langit”.

(CERITA INI SAYA TULIS DAN DAPAT DITEMUKAN JUGA DI www.gkpb.net)