Thursday, May 24, 2007

Friendship Trip Ke Rumah Dunia


Oleh Ita Siregar

Inilah petikan kami berangkat ke Rumah Dunia (seterusnya disingkat RD), desa Hegar Alam, Ciloang, Serang-Banten.

Waktu itu sinar matahari lumayan terik dan tidak ada angin. Farianto memarkir mobil di tanah luas di depan RD, yang dulu ketika saya berkunjung dua tahun lalu dipakai tempat parkir. Kini sudah berdiri satu kerangka rumah sedang dibangun. Pintu gerbang kupu-kupu yang terbuat dari kayu, dengan tulisan Rumah Dunia di atasnya, sudah terbuka begitu saja. Kang Igun, salah satu relawan RD yang pintar mendongeng, segera menyambut kami sambil menyapa bersemangat, “Dari Depok ya?” Wah, salah, Kang. Dari Jakarta ini mah.

Kang Roni, relawan lain, dengan congcorang hijaunya, menemani sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Katanya, RD lebih ramai dikunjungi orang luar di hari Sabtu dan Minggu, seperti juga jadwal workshop. Sedangkan di hari biasa, anak-anak, remaja atau orang dewasa kapan saja bisa membaca di perpustakaan.

Menurut jadwal Gola akan mementori workshop menulis (jurnalistik) yang sekarang adalah peserta angkatan ke-9 sejak dimulainya. Sambil menunggu, Rebecca dan Hilda sibuk berfoto di gerbang RD, kami juga sih. Konon, Hilda telah lama bermimpi membuat tempat serupa RD. Rebecca menambahkan, sejak kecil, kakak beradik yang kompak ini, bila diberi uang jajan oleh orang tua, mereka pakai membeli buku-buku dan menyusunnya seperti taman bacaan di teras rumah, mengundang teman-teman tetangga untuk datang dan membaca. Dan membayar sewa baca, kan (betul? Hehe..)

Tias Tatanta sibuk memeriksa karya tulis salah seorang dari beberapa anak yang mengikuti latihan menulis di RD. Peserta kursus mulai berdatangan memenuhi kursi plastik warna-warni di depan panggung yang beratap langit. Kang Roni memutar film pendek Indie. Balita Odi dan Kaka, putra ketiga dan keempat Gola-Tias, ikut meramaikan.

Bela, putri sulung Gola yang telah menerbitkan satu novel anak Beautiful Days, tidak terlalu mempedulikan orang-orang yang bertanya soal karyanya. Menurut Tias, Bela agak kesal kalau sedang membaca di perpustakaan dan pengunjung ingin dapat tandatangan di novelnya.

Gola muncul, menyalami kami, bertanya penulis buku Awaking The Excellent Habit, yang diberikan untuk koleksi RD. Bung Darsum. Walhasil, setelah mengingatkan soal cara membuat satu tulisan (jurnalistik), Gola mempersilakan Bung Darsum berbagi perihal proses kreatif terbitnya bukunya, tentang akal penalar dan budi pekerti yang digabungkan menjadi sinergi sehingga manusia dapat mencapai peradaban saat ini. Seorang peserta bertanya teknik dan kesulitan mengumpulkan bahan, sementara Pak Zaenal, pria berkumis yang bertampang garang, malah berkomentar bahwa akal dan budi tidak bisa dipisahkan. Wah, kita memang lagi ngomongin itu. Kemane aje, Pak Zaenal? Heheh…

Berikutnya, Gola mem...persilakan Firdaus, pemimpin redaksi majalah berita TERAS, serupa TEMPO, tapi didistribusikan di sekitar provinsi Banten, untuk membeberkan seluk-beluk pekerjaan jurnalistik. Ternyata kebenaran sulit ditampilkan dalam sebuah tulisan dan ancamannya berat: masuk bui.

Pada satu titik, Firdaus memaparkan, bahwa atribusi atau pangkat atau teman di kala senang, tidak selalu bisa dijadikan teman di kala susah. Dalam satu pengalaman Firdaus dikepung puluhan orang, seorang Hindu menelepon dan seorang Katolik memberi bantuan. Sementara yang selama ini mengaku teman, tidak memunculkan batang hidungnya sama sekali. Pemaparan keadaan Banten yang sangat menarik.

Gola membesarkan hati peserta workshop, bahwa apapun yang terjadi, hati nurani itu tetap harus menjadi pijakan utama. Tidak semua wartawan itu baik. Tidak semua pejabat atau pengusaha itu buruk. Tapi, mereka juga manusia yang mempunyai hati nurani.

RD mendiami lokasi tanah seluas 1000m persegi, berbentuk segi empat, dengan tanah kosong di tengah-tengahnya dengan dua pohon besar (pohon apa ya itu), lalu ruang-ruang yang membentuk segiempat, mulai perpustakaan dewasa "Surosowan" di sebelah kanan pintu masuk, lalu sekretariat, panggung tempat latihan teater atau pertunjukan, perpustakaan remaja, toko buku, perpustakaan anak, ruang Jenderal Kancil, yang berfungsi seperti taman kanak-kanak.

Hari beranjak sore tapi teman-teman dari IKAPI muncul. Mereka perlu merekam aktivitas Gola sedang mementori workshop, karena film akan ditayangkan di pesta buku mendatang di Jakarta. Karena telah waktu shalat asar, kegiatan reda sejenak. Sambil memberi tip-tip praktis menulis cerpen, menceritakan alur dan plot, Gola direkam. Kami ikut jadi figuran.

Sebelum kembali ke Jakarta, kami bersantap siang di sore hari di rumah makan sederhana yang menjual rabeg (gulai kambing ala Banten), sate bandeng, soto. Soto ayam yang dipesan Rebecca dan Farianto uasin-nya nggak ketulungan. Setelah kami berdiri untuk pergi, kucing-kucing langsung menyerbu meja makan yang kami tinggali. Waduh, seperti di film horor deh. Tapi, kami menikmati perjalanan kunjungan ini.

Sekarang kita tunggu saja Hilda dan mimpinya membuat ‘rumah dunia’ yang lain.