Friday, May 11, 2007

Hidup dalam Kesederhanaan

Oleh Gavrila Pinasthika
Semua orang mengenal warteg alias Warung Tegal, yang merupakan tempat makan yang sudah menjamur di Nusantara. Jika seseorang menanyakan Anda tentang bentuk fisik warteg, tentu Anda akan membayangkan sebuah ruangan kecil sederhana dengan meja dan lemari kaca yang berisi berbagai macam makanan, serta sebuah atau beberapa kursi panjang tanpa sandaran untuk pengunjung.
Keberadaan warteg dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Dari segi sosial, warteg merupakan tempat yang banyak dikunjungi orang dari strata sosial yang berbeda. Tidak hanya dari buruh bangunan, tukang becak, dan orang-orang dari kelas ekonomi bawah, terkadang kita juga dapat melihat... orang-orang dari kalangan menengah, seperti pekerja kantor dan mahasiswa, makan di warteg. Warteg menjadi pilihan banyak orang karena harganya yang ekonomis.
Dari segi kesehatan, memang ada beberapa warteg yang kurang memenuhi standar kesehatan, seperti misalnya banyaknya lalat yang mengerubungi makanan, ruangan yang kotor, dan sebagainya. Namun, banyak juga warteg memiliki ruangan yang relatif bersih. Menu di warteg pun terdiri dari beragam masakan seperti tempe goreng, mi goreng, telur dadar, sayur kangkung, ikan goreng, ayam goreng, dan makanan lainnya. Sesungguhnya, warteg mempunyai varian makanan yang lengkap yang memenuhi standar 4 sehat 5 sempurna.
Sekarang kita tahu secara garis besar tentang warteg, namun, tahukah kita bagaimana kehidupan pedagang warteg? Berikut hasil wawancara saya terhadap beberapa pedagang warteg yang berada di ibukota dan di luar ibukota.
Wawancara pertama yang saya lakukan adalah dengan pedagang warteg di Semarang, tepatnya di depan Universitas Diponegoro. Warteg itu bernama Warteg Ibu Dwi. Ibu Dwi menjalankan usaha ini bersama suaminya. Mereka telah menjalankan usaha warteg sejak lama, namun mereka baru menetap di tempat kontrakan mereka di Semarang 2 bulan lalu. Sebelumnya mereka berjualan warteg di Jakarta.
Ibu Dwi dan suaminya adalah orang Tegal. Pendapatan kotor mereka per bulan dari berjualan warteg kira-kira Rp 600.000,- per bulan. Jumlah ini memang tergolong kurang, namun kehidupan di kota Semarang masih memungkinkan mereka untuk hidup sederhana dengan seorang anak lelaki yang berumur 5 tahun. Ketika Lebaran tiba, mereka akan pulang ke “daerahnya” yaitu di Tegal untuk menunaikan Hari Raya dan bertemu dengan keluarga.
Keseharian Ibu Dwi dimulai dengan bangun pagi pk 04.00, setelah itu langsung memasak makanan untuk dijual sejak pk 05.00. Sejam setelah itu barulah warteg dibuka. Semua makanan selesai dimasak pada kira-kira pk 10.00. Setelah itu, Ibu Dwi dan suaminya melayani pembeli hingga makanan habis atau paling lambat hingga pk 21.00.
Ibu Dwi mengakui, salah satu kesulitan dari menjalankan usaha warteg ini adalah kurangnya modal dan kenaikan harga sembako. Namun berkat keahlian masak turun-temurun dalam keluarganya, wartegnya bisa berkembang. Ibu Dwi juga sudah membuka cabang dari wartegnya, yang berada di Bogor dan dijalankan oleh adiknya.
Pengunjung yang datang ke warteg Ibu Dwi ini kebanyakan adalah mahasiswa dari Universitas Diponegoro dan pekerja bangunan. Alasan mereka makan di warteg adalah karena harganya yang murah, yaitu sekitar Rp 3.000,- untuk makanan dan Rp 1.500,- untuk minuman.
Di Semarang, Ibu Dwi dan suaminya juga mengikuti semacam organisasi warteg, yaitu Koperasi Warteg. Di perkumpulan yang semua anggotanya orang Tegal murni ini, pengusaha-pengusaha warteg di Semarang dapat memperoleh pinjaman modal untuk mendirikan warteg atau mendirikan cabang baru. Di perkumpulan ini pula mereka dapat berdiskusi tentang suka-duka menjalankan warteg, tips-tips baru dalam memasak, bahkan reuni keluarga. Jelas sekali semangat kekeluargaan dan gotong-royong yang tinggi tampak dalam perkumpulan ini.
Wawancara kedua yang saya lakukan adalah kepada pedagang warteg di ibukota Jakarta. Warteg ini bernama Warteg Aida. Ibu Aida menjalankan usaha ini semenjak tahun 1995 yang lalu. Awalnya ia bertani, namun karena pendapatan yang diperolehnya belum dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari, ia mulai menekuni bisnis warteg.
Awal-awal Ibu Aida menjalankan usaha ini memang dirasanya berat. Dahulu, ia harus mengontrak selama beberapa tahun dengan biaya Rp 3 juta per tahun. Setelah usahanya berjalan cukup lancar, ia berencana membeli tempat seluas 70 m2 itu dengan harga Rp 3,5 juta per meter (total Rp 245 juta). Kini Ibu Aida telah mempunyai warteg yang cukup luas serta lemari pendingin untuk minuman. Bahkan, ibu 2 anak ini berhasil membiayai anaknya hingga sarjana dan menikah.
Ibu Aida yang mempunyai 2 anak dan 1 cucu ini menggaji 3 pembantu untuk melayani tamu, yang digajinya Rp 900 ribu. Jumlah ini dirasa cukup dari pendapatan kotornya yang berjumlah Rp 4 juta per bulan, suatu jumlah yang menurutnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun, tidak semua perjalanan Ibu Aida mulus. Pernah ia berniat untuk meluaskan usahanya dengan membuka cabang di Purwokerto. Namun karena ulah pegawainya yang tidak bertanggung jawab, yaitu mencuri perabotan dan peralatan wartegnya, ia tidak dapat menjalankan usaha tambahannya. Di samping itu, tidak sedikit pembeli yang ‘nge-bon’ atau berhutang dulu padanya. Kebanyakan dari mereka memang membayar utang mereka, namun beberapa ada yang tidak, bahkan lupa sama sekali untuk membayar utangnya. Menghadapi semua tantangan tersebut, Ibu Aida tetap bersyukur dan optimis untuk mencoba membuka cabang lagi.
Berbeda dengan warteg Ibu Dwi di Semarang, pengunjung warteg Ibu Aida kebanyakan dari kalangan menengah, seperti misalnya pekerja kantoran, sopir taksi, maupun pekerja proyek bangunan. Sama seperti pengunjung-pengunjung warteg pada umumnya, mereka senang makan di warteg dikarenakan harga makanannya yang murah, yaitu di antara Rp 3.000,- hingga Rp 3.500,- per porsi. Harga ini tidak ditentukan oleh sesama pengusaha warteg. Walaupun setiap pengusaha mempunyai harga sendiri-sendiri, namun rata-rata sama dengan harga makanan di warteg Ibu Aida.
Ibu Aida juga mengakui bahwa ada suatu pertemuan khusus pengusaha warteg di Jakarta, yaitu Arisan Warteg. Sama seperti di Semarang, semua anggota arisan ini juga orang Tegal seluruhnya. Arisan ini diadakan sebulan sekali. Ibu Aida senang menjadi bagian dari perkumpulan ini, karena dengan begitu ia dapat mengetahui setiap perkembangan warteg yang berada di Jakarta.
Keseharian Ibu Aida tidak jauh berbeda dengan Ibu Dwi. Ia bangun pagi pada pk 05.00. Setelah itu, ia mandi, sholat, lalu memasak hingga pk 06.00. Ia juga dibantu ketiga karyawannya ketika memasak. Jika bahan-bahan masakannya habis, Ibu Aida biasa membelinya di Pasar Minggu. Modal yang dikeluarkannya untuk membeli bahan-bahan masakan ini juga tidak murah, misalnya saja untuk memasak nasi, ia membutuhkan 1 karung beras 50 kg yang akan habis setelah 2 hari. Ketika Lebaran, Ibu Aida beserta keluarganya juga akan pulang ke kampung halamannya dan bercengkerama dengan handai taulan di Tegal. Di Tegal jugalah, ia akan merekrut seorang atau beberapa pembantu baru untuk membantunya menjalankan usaha warteg.
Demikianlah hasil wawancara saya terhadap dua contoh pedagang warteg yang berada di Jakarta dan di luar Jakarta. Kita dapat menarik suatu kesimpulan di sini, bahwa dalam setiap usaha, kerja keras dan optimisme yang tinggi dapat mengantarkan kita menuju kesuksesan dan mimpi-mimpi kita. Kalaupun gagal, hendaklah kita berpikir bahwa kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Di samping itu, kita juga perlu mengingat bahwa hidup tidak hanya bergantung pada materi, tapi juga rasa kekeluargaan dan hubungan sosial kita dengan orang lain. Pengusaha-pengusaha warteg di atas dapat hidup sederhana dan tetap bahagia serta bersyukur dengan hidup yang sudah mereka jalani, mengapa kita tidak mencontoh mereka?